Manajemen merek kota bukan ditunjukkan dengan memanipulasi citra melalui teknik komunikasi pemasaran. Sebuah kota selalu dinilai berdasarkan perbuatan, bukan perkataan.
Ada sebuah artikel terbitan 12 April 2013 yang sangat menarik di laman kemendagri.go.id. Artikel tersebut berjudul, “City Branding untuk Pemda: Perlukah?” Tulisan tersebut menceritakan city branding sebagai salah satu strategi menciptakan positioning yang kuat agar sebuah negara, provinsi, kota, atau kabupaten dapat dikenal secara luas di seluruh dunia.
Kemudian pada 11 Mei 2015, Menteri Pariwisata Arief Yahya menyatakan bahwa konsep merek (branding) dalam dunia bisnis sangat menentukan keberhasilan suatu perusahaan. Pernyataan tersebut terlontar dalam konteks pencapaian target kunjungan 20 juta wisatawan mancanegara ke Indonesia pada 2020. Demi mencapai tujuan tersebut, Indonesia menerapkan strategi city branding pada beragam tujuan wisata untuk menarik para wisatawan dan investor ke berbagai daerah.
Globalisasi Bertahta
Pendapat resmi pemerintah tersebut menunjukkan pengakuan bahwa globalisasi nyata adanya dan bertahta di setiap sudut negara. Karenanya, citra positif sebuah negara dan wilayah-wilayah di dalamnya, baik provinsi, kota, atau kabupaten di mata penduduknya maupun penduduk dunia menjadi sangat krusial dan memiliki bobot kepentingan yang lebih penting dalam bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Kini, setiap negara dan kota harus berkompetisi dengan negara dan kota lainnya untuk meraih bagian dari kue turis dunia, investor, talenta, pertukaran budaya, pengunjung bisnis, acara, dan profil media (Simonanholt.com). Raihan proporsi yang baik dalam bidang-bidang tersebut berarti memiliki positioning yang dikenal secara internasional. Positioning internasional yang kuat berarti eksisnya sorotan, reputasi, serta persepsi di mata masyarakat dunia.
Pada tapal batas kondisi ini, Indonesia sebagai salah satu negara terbesar telah aktif menerapkan kebijakan dalam negeri maupun luar negeri untuk meningkatkan dan memperkuat hubungan dan citra dengan warga negeri sendiri, hingga penduduk di wilayah Asia Pasifik, Afrika, Eropa, dan Amerika pada level yang lebih tinggi dan ditujukan untuk pencapaian kepentingan nasional.
Indonesia sebagai negara kepulauan dengan lokasi di Asia Tenggara, di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik telah tumbuh dengan kuat selepas krisis pada akhir abad 20. Pada masa krisis global 2010, performa Indonesia mampu melebihi negara-negara tetangganya dan bergabung bersama-sama China dan India sebagai anggota G20 yang membukukan pertumbuhan ekonomi (cia.gov).
Namun demikian, berbasis pada berbagai studi yang membandingkan Indonesia dengan negara-negara tetangganya, citra Indonesia masih tertinggal di belakang. Sebagai contoh, Indonesia, Filipina, Sri Lanka, Ethiopia, Nepal, dan Thailand masih dicitrakan sebagai negara pemasok utama para pekerja migran berpendapatan rendah (Al Jazeera, 2013).
Data tersebut menunjukkan, bersama-sama dengan temuan lainnya, bahwa meski Indonesia sudah memiliki posisi yang relatif kuat, tetap memerlukan penerapan strategi merek yang kuat dari pusat hingga daerah. Pemerintah telah menyadarinya bahwa pusat dan daerah harus berusaha untuk mengukur, meneliti, merencanakan, membangun, dan mengelola reputasi yang lebih baik, antara lain berbasis konsep city branding.
Menjalankan City Branding
Menjalankan strategi city branding berarti keharusan memiliki pemahaman kuat dengan ilmu manajamen pemasaran dan manajemen merek. Tidak sedikit contoh kasus para pemerintah daerah yang sekedar memaksimalkan peran komunikasi pemasaran dan polesan lipstik citra yang terkesan apik, namun kosong di dalamnya. Hasil yang dituai tentu saja adalah kegagalan.
Berbicara mengenai kegagalan city branding, k629, konsultan pemasaran daerah, telah mengembangkan basis data lebih dari 5000 merek daerah selama lebih dari 10 tahun. Berbasis data tersebut, k629 menemukan bahwa hanya 14 persen yang berlanjut setelah peluncuran tahun pertama. K629 mengestimasikan bahwa hampir $ 75 juta telah dibenamkan untuk penciptaan merek daerah yang gagal (2012).
Maka berbasis temuan tersebut, bagaimana caranya agar pemasaran daerah tidak termasuk dalam golongan 86 persen? Apa yang harus diperhatikan agar strategi dan taktik marketing daerah yang dijalankan berhasil masuk dalam jajaran 14 persen?
Mulailah dengan memahami bahwa city branding, beserta berbagai kegiatan marketing dan promosi yang dilakukan terhadap nama sebuah kota, selalu berhubungan dengan asosiasi yang lekat dalam pikiran seorang individu (Kavaratzis, 2004). Berangkat dari pengertian tersebut, city branding berkonsentrasi pada pelaksanaan manajemen merek terintegrasi yang terfokus pada identitas (Freire, 2005), dan karakteristik unik serta definitif (Zhang dan Zhao, 2009) dari wilayah tertentu.
Selaras dengan pemikiran tersebut, Zenker dan Braun (2010) menyediakan definisi komprehensif tentang merek daerah dan berargumentasi bahwa merek adalah “jaringan asosiasi di dalam pikiran konsumen yang berbasis pada ekspresi visual, verbal, dan perilaku dari sebuah tempat, yang ditampilkan melalui tujuan, komunikasi, nilai-nilai, dan budaya umum dari keseluruhan desain dan pemangku kepentingan tempat tersebut”.
Dari definisi tersebut dapat diperoleh temuan bahwa pemasaran daerah (baca: city branding) berbasis pada persepsi dari audiens yang dituju, yang baik secara langsung maupun tidak, dipengaruhi oleh aspek fisik dan komunikasi kota tersebut.
Parameter City Branding
Saat ini, ada berbagai metode dan model yang digunakan untuk mengukur keberhasilan penerapan city branding, antara lain Anholt-GfK Roper City Brands Index, Saffron European City Brand Barometer, dan Creative City International – The Vitality Index.
Khusus mengenai Anholt-GfK Roper City Brands Index (ACBI), akarnya berasal dari Nation Brands Index yang pada tahun 2005 memperoleh kesuksesan komersial. ACBI melalui GfK Roper Public Affairs & Corporate Communications melakukan survey 40 pertanyaan kepada 20.000 orang dari 20 negara mengenai 50 kota yang dilakukan secara daring. ACBI memiliki enam paratemer yang mengukur karakteristik kota, antara lain:
Presence – keberadaan yang mengukur kontribusi global suatu kota terhadap sains, budaya, dan pemerintahan.
Place – lokasi yang menelusuri persepsi orang terhadap aspek fisik sebuah kota dalam konteks iklim kenyamanan, kebersihan lingkungan, dan seberapa menarik tampilan bangunan dan taman yang ada.
Pre-requisites – fundamental mencari tahu persepsi individu terhadap fasilitas-fasilitas dasar sebuah kota, misalnya sekolah, transportasi, rumah sakit, dan fasilitas olahraga.
People – Manusia membuka kondisi riil apakah penduduk sebuah kota dipersepsikan sebagai hangat dan menerima, apakah responden merasakan kemudahan menemukan dan bergabung dalam sebuah komunitas untuk berbagi budaya dan bahasa serta apakah mereka merasa aman.
Pulse – Ritme mengukur denyut nadi kehidupan kota; mengukur persepsi bahwa ada hal-hal menarik untuk mengisi waktu luang dan seberapa menarik sebuah kota untuk dijelajahi.
Potential – Potensi mengukur persepsi mengenai kesempatan pendidikan dan ekonomi dalam sebuah kota.
Lalu dari keenam temuan yang telah dibuat rerata, ranking yang menentukan peringkat sebuah kota disusun.
Model pengukuran temuan Anholt dengan definisi city branding yang mengukur merek sebuah kota dari asosiasi yang teridentifikasi. Jadi, merek suatu kota adalah penjumlahan persepsi semua orang yang saling berinteraksi dalam jejaring informasi yang mereka miliki. Hasil dari pengukuran atau data yang diperoleh tentulah harus diketahui para pemangku kepentingan dan pengambil keputusan yang memiliki niat memajukan kota mereka. Maka, mereka dapat mengetahui karakteristik unik yang dapat diturunkan dalam gambar dan angka.
City Branding: Kesuksesan
Mayoritas kota kelas dunia memiliki merek yang terbangun secara organik (Robert Jones, 2008). Ambil contoh Paris yang romantis, atau Hong Kong untuk berdagang. Untuk banyak kota, sebenarnya mustahil untuk mengambil kesimpulan tunggal dalam sebuah merek. Merek-merek yang dimiliki kota selalu bersifat multi-dimensi dan berubah. Jadi, usaha menciptakan merek kota yang artifisial dan stagnan jelas berbahaya dan bodoh.
New York menuai sukses fenomenal dengan “I love New York”. Kunci keberhasilan merek New York adalah integrasi yang terarah, yang dikendalikan oleh kombinasi para pemimpin dengan satu pemikiran mengenai apa itu New York: campuran berbagai macam manusia, terlepas dari gender, umur, kepercayaan, memiliki potensi mewujudkan mimpi mereka jika mau berusaha. New York berarti sikap “dapat melakukan – can do” yang tergambarkan melalui semua hal, mulai dari gedung pencakar langit hingga pelayanan konsumen. Kombinasi ini begitu dikagumi dan merek New York yang sangat kuat pun tampil di berbagai produk, mulai dari topi hingga cangkir.
Liverpool dan Amsterdam juga dapat dikategorikan sebagai usaha city branding yang sukses. Mereka tampil menonjol dengan kultur yang dominan. Liverpool memiliki titik balik yang luar biasa dalam hal politik dan politik serta kekurangan fisik. Denyut nadi Liverpool terasa kuat melalui bar dan klub, pusat keuangan dan ritel – yang berarti ada sesuatu untuk semua orang.
Amsterdam telah lama dikenal sangat kaya ragam etnis dan budaya, yang terdiri dari 177 kewarganegaraan dengan masing-masing ide dan pengaruhnya. Atas dasar itu, Amsterdam selalu membanggakan dirinya dalam mengakomodasi berbagai gaya hidup dan artistik. Secara sejarah, Amsterdam selalu menjadi yang pertama dan paling siap dalam menerima konsep dan ide alternatif.
Indonesia dengan Badung, Banyuwangi, Bandung, Yogyakarta, Jakarta, Surabaya dan Makassar dapat pula menjadi contoh kesuksesan city branding. Masing-masing pemimpin daerah mampu memberikan inovasi dan tampilan yang menonjolkan keindahan kota.
Ambil contoh Bandung di bawah pimpinan Ridwan Kamil (Kang Emil) yang menonjol dengan inovasi sektor publik, antara lain taman-taman, bus sekolah gratis, dan mobil penyapu jalan. Lalu lihat juga Makassar yang dipimpin oleh Mohammad Ramdhan Pomanto (baca: Makassar: Sombere’ dan Pintar)yang menonjolkan karakter sombere’ dan pintar. Salah satu inovasi Makassar yang dibanggakan Danny Pomanto adalah kartu pintar yang mampu menyimpan data-data penduduk secara masif, mulai dari E-KTP, rekam medis, BPJS, NPWP, hingga kelak sebagai alat pembayaran parkir.
Mulai Dari Realitas, Bukan Imej
Membangun merek sebuah kota tidak hanya sekedar logo dan jargon. Perhatikan aset-aset kunci, hal-hal kecil dan detil seperti jalanan yang bersih. Rasukilah hati para penduduk kota dan cari tahu apakah mereka bangga jika menjadi duta besar kota mereka. Saat penduduk bangga akan kota mereka, para pengunjung akan terdorong mencari tahu asal muasal keriaan tersebut dan memberitahukannya pada dunia.
Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Majalah Marketing edisi Agustus 2015