Seberapa lama Gojek mampu bertahan dalam ketiadaan payung hukum, deraan kompetisi, pasokan kapasitas berlebih, dan kemungkinan hilangnya bagian pasar saat harga menjadi normal?
Nama Gojek sebagai aplikasi berbagi tumpangan sepeda motor menjadi topik hits sejak awal 2015. Meski sebenarnya sudah didirikan sejak 2011, namun pertumbuhan yang eksponensial baru dimulai saat Gojek meninggalkan model bisnis konvensional dan beralih dengan optimalisasi teknologi informasi dan internet pada Januari 2015.
Dimulai dengan angka sekitar 1.000 pengendara Gojek pada Januari 2015, pertumbuhan berganda diraih dan angka sekitar 50.000 pengendara diraih pada Juli 2015.
Raihan pertumbuhan tersebut selain dengan adanya modifikasi model bisnis, harga promosi Rp 10.000,- turut memacu peningkatan permintaan jasa Gojek. Hal tersebut masih ditambah dengan topik-topik panas lainnya seperti hadirnya kompetitor bernama GrabBike yang berasal dari Malaysia dengan harga promosi Rp 5.000,-, penolakan dengan tindakan menjurus kasar dari para pengendara ojek pangkalan, para golongan sarjana yang mendaftar sebagai pengendara Gojek, hingga keputusan salah satu legenda timnas sepak bola Indonesia untuk menjadi bagian dari pengendara Gojek.
Walhasil, getok tular segera terlihat di mana-mana, khususnya di jagad maya. Fenomena Gojek pun menjadi studi dan bahan pembicaraan kaum akademisi serta peneliti, bahkan sekelas Profesor Dr Iskandar Zulkarnain (Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)).
Harus diakui, kehadiran Gojek memang inovatif dan telah merevolusi struktur sosial ojek konvensional yang kehadirannya kadang menjengkelkan para penggunanya, antara lain dengan perilaku hajar harga dan pelayanan pelanggan yang minim etika.
Empat faktor yang mempengaruhi usia Gojek
Atas semua pencapaian sekaligus hambatan yang dirasakan Gojek, tentu akan menggelitik rasa penasaran kita bagi pemerhati dunia bisnis dan start-ups, kira-kira berapa lama Gojek mampu bertahan jika tidak ada modifikasi lanjutan terhadap model bisnisnya?
Faktor pertama, ketiadaan payung hukum. Salah satu hal krusial yang menjamin kelangsungan bisnis dalam jangka panjang adalah keberadaan payung hukum. Sayangnya, moda transportasi roda dua yang erat dengan Gojek justru melanggar hukum tentang penyelenggaraan angkutan orang dan barang.
Hukum yang dimaksud antara lain Undang-undang nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan dan Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2014 tentang Angkutan Jalan. Segala peraturan tersebut diberlakukan dengan tujuan memastikan keselamatan rakyat pengguna transportasi umum.
Sebagai contoh, bagi angkutan umum resmi, terdapat pembedaan dari warna plat, yaitu kuning. Angkutan umum juga minimal beroda tiga dan wajib menjalani rangkaian tes dan pengujian kelayakan kendaraan. Maka jika rakyat pengguna transportasi umum mengalami masalah, misal kecelakaan lalu lintas, akan mengetahui langkah-langkah dan tujuan jelas jika ingin melakukan tuntutan hukum.
Sayangnya, kondisi Indonesia dengan kesenjangan antara permintaan transportasi publik dan kemampuan menyediakan infrastruktur dan moda transportasi layak masih sangat lebar. Inilah penyebab moda transportasi pelanggar peraturan seperti omprengan plat hitam dan ojek dapat eksis. Namun, saat kesenjangan itu menyempit atau bahkan hilang, berarti Gojek harus sudah melakukan perombakan model bisnis.
Faktor kedua, penguasaan pasar oleh kompetitor terkuat, GrabBike. Diinisiasi oleh GrabTaxi, GrabBike membuka layanannya di Jakarta dengan kekuatan dana sekitar USD$ 340 juta. Berdasarkan informasi, GrabBike berhasil mendapatkan 8.000 pengguna layanan dalam seminggu pertama peluncuran.
Dalam strategi harga, GrabBike sempat memberikan layanan gratis selama dua minggu, berlanjut ke harga promosi Rp 5.000,-, dan kini pada harga Rp 10.000,-., patokan harga yang lebih murah secara signifikan dibandingkan Gojek. Lalu, agar masyarakat semakin terpapar informasi harga promosi GrabBike, kolom iklan di berbagai media massa nasional turut diberdayakan. Tentunya dengan harapan agar pengguna aplikasi GrabBike semakin meningkat dan kelak mengalahkan Gojek.
Meski demikian, Nadiem terlihat memiliki keunggulan dalam hal penguasaan dan pemahaman pasar Indonesia. Selain pengalaman yang sudah diperoleh Gojek sejak 2011, Gojek juga memiliki armada jaket hijau jauh lebih banyak dan telah tersebar di berbagai provinsi dan kota, antara lain Bali, Bandung, dan Surabaya.
Namun, Gojek tetap perlu berhati-hati mengingat GrabBike memiliki bekingan dana berkali lipat lebih besar dan bisa jadi, dengan kelebihan tersebut, GrabBike memiliki akses lebih baik terhadap teknologi dan SDM yang lebih mumpuni, baik dari sisi kuantitas maupun penguasaan, serta tentunya anggaran pemasaran yang jauh lebih kuat.
Faktor ketiga, pasokan pengendara Gojek yang berlebih. Dulu, banyak kisah manis bertebaran di internet mengenai pendapatan pengendara Gojek. Konon disebutkan bahwa penghasilan pengendara Gojek bisa mencapai Rp 1.000.000,- per hari. Namun patut menjadi catatan bahwa pendapatan tersebut sangat mungkin diraih saat permintaan jauh melebihi penawaran.
Sejak Gojek membuka pendaftaran pengendara secara masif di Senayan, angka Rp 1.000.000,- per hari bagai khayalan. Mendapatkan Rp 1.000.000,- per dua minggu pun menjadi terasa sulit karena persaingan mendapatkan pelanggan muncul justru dari sesama pengendara Gojek. Permintaan dan penawaran telah menemukan titik keseimbangannya dan mungkin, pasokan jasa sudah berlebih, khususnya di wilayah-wilayah tertentu.
Selain potensi pendapatan yang menurun dari sisi pengendara, dari sisi pengguna jasa juga merasakan penurunan dalam hal kesopanan dan kesantunan pelayanan pelanggan. Pemicunya, dari hasil riset sekunder di media massa daring, adalah perekrutan massal pengendara Gojek di Senayan. Kejadian ini sebenarnya sudah bisa diduga mengingat pertumbuhan yang eksponensial wajib diimbangi dengan kemampuan manajemen yang prima.
Untuk bisa mengatasi hal ini, semestinya Gojek dengan jajarannya telah mengetahui prinsip pembagian wilayah kerja. Jadi, ada semacam pembatasan jumlah pengendara Gojek di suatu wilayah berdasarkan pada data jumlah permintaan di masa lalu, estimasi jumlah permintaan di masa depan, dan rasio pengendara dan pengguna yang tepat.
Sedangkan untuk isu kesopanan dan kesantunan pengendara, Gojek tetap bersikap keras dan disiplin dalam menegakkan peraturan untuk menjamin kenyamanan dan kepuasan pelanggan.
Faktor keempat, saat harga kembali normal. Jika di masa mendatang Gojek memiliki minat untuk memberlakukan tarif normal. Atau jika menggunakan bahasa bisnis, yaitu tidak lagi memasukkan ‘anggaran marketing’ dalam bungkus subsidi harga bagi pelanggan, indikasi penurunan permintaan terlihat lumayan jelas.
Segmentasi konsumen Indonesia, khususnya yang sudah sangat awam dengan jasa ojek dan yang melakukan pembelian karena iming-iming harga promosi menunjukkan indikasi tidak lagi menggunakan jasa Gojek saat harga promosi dicabut.
Ada kemungkinan Gojek akan kehilangan 50% s.d. 70% permintaan saat harga normal diberlakukan. Namun, Gojek tetap akan memiliki segmen pelanggan yang mengutamakan kepastian harga dan jaminan keamanan serta kenyamanan.
Selain hal tersebut, Gojek juga sudah melakukan langkah cerdas berupa diversifikasi layanan, misalnya Go-Food, Go-Mart, dan Go-World.
Menjalankan bisnis ibarat menciptakan karya seni. Banyak hal-hal yang hanya dapat diraih melalui pengalaman langsung di lapangan dan bukan sekedar dengan buku teks, pelatihan, atau membaca modul. Gojek sebagai aplikasi berbasis tumpangan sudah memiliki langkah awal yang sangat baik.
Adanya dukungan dari kumpulan SDM berkualitas tinggi seharusnya mampu membuat Gojek melangkah lebih jauh dan memiliki usia tua. Lagipula, masih ada kekuatan nama Makarim yang jelas dilarang dipandang remeh.
(Andika Priyandana; dari berbagai sumber)
Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Majalah Marketing edisi Oktober 2015