“Ketika ada kelesuan ekonomi, bisnis model seperti Ralali justru dipakai.” – Joseph Aditya (CEO Ralali).
Ralali lahir pada Juni 2013 melalui ide Joseph Aditya (CEO Ralali) dan Irwan Suryady (General Manager Ralali) untuk menciptakan produk dengan karakter painkiller; sebuah produk yang menjadi kebutuhan utama, bukan sekedar pelengkap.
Produk painkiller tersebut diposisikan sebagai jawaban permasalahan dunia B2B (Business-to-Business) dalam hal promosi dan pemasaran (dari perspektif produsen dan distributor produk industri MRO (Maintenance, Repair, Operational)) dan pengadaan barang (dari sisi konsumen).
Secara ringkasnya, Aditya menyampaikan, “Kami adalah online B2B market place.”
Ralali bisa dikatakan adalah anomali dalam dunia start-ups Indonesia, yang mayoritas menjalankan model bisnis B2C (Business-to-Consumer) dan C2C (Consumer-to-Consumer). Namun pilihan model bisnis inilah yang dipandang Aditya membuat Ralali mampu bertahan dari pergantian tinggi dunia start-ups.
Aditya berkata, “Yang membuat kami bertahan itu pasarnya. B2B itu pasarnya besar sekali. Bukan B2C atau C2C.”
Irwan menambahkan, “Sejak masih berbentuk ide, kami melihat bahwa di dunia industri Indonesia perlu ada sebuah wadah yang memungkinkan semua harga transparan. Dengan adanya tranparansi harga, dunia industri mampu berjalan secara lebih efisien.
Ibaratnya memangkas lemak-lemak finansial perusahaan. Maka, kami berpikir bagaimana dengan bantuan teknologi bisa membantu orang lain dan memberikan solusi. Dalam visi kami, hal ini sejalan dengan tujuan merevolusi infrastruktur perdagangan melalui inovasi dan teknologi.”
Aditya kemudian menimpali, “Melalui bentuk solusi yang kami tawarkan, ketika ada kelesuan ekonomi, bisnis model seperti Ralali justru dipakai. Itu yang menyebabkan vendor-vendor mudah diajak bergabung.”
Venture Capital Melirik Ralali
Produk painkiller bertajuk Ralali.com lalu hadir dalam bentuk platform teknologi yang menyediakan beragam produk industri MRO dari berbagai macam merek. Irwan berkata, “Strategi membangun produk yang bersifat painkiller ini bisa dikatakan salah satu faktor utama kesuksesan pertumbuhan bisnis Ralali.”
Namun untuk membuat bisnis lepas landas, Ralali memerlukan pendanaan besar agar dapat segera mewujudkan rencana-rencana yang semula hanya ada di atas kertas. Dana tersebut juga harus segera diperoleh agar Ralali dapat meningkatkan skala ekonomi minimal yang harus dipenuhi jika kelak ada kompetitor yang ingin meniru model bisnis Ralali. Lebih jauh lagi, hal ini adalah keniscayaan sebagai perusahaan yang mengedepankan teknologi.
Agar mendapatkan dana tersebut, Aditya dan Irwan kemudian rajin mengikuti berbagai acara yang menjadi ajang pertemuan sesama start-ups dan para investor. Dalam acara tersebut, para pelaku start-ups menceritakan kebutuhan pendanaan dan para investor mencari start-ups tempat mereka dapat menanamkan modal.
Gayung bersambut dan Ralali kini telah mendapatkan pendanaan tahap kedua senilai total puluhan miliar rupiah dari investor dalam dan luar negeri, antara lain East Ventures, Cyber Agent Ventures (CAV), dan BEENOS Plaza.
Menurut Aditya, saat mengukur valuasi start-up, investor melihat tiga hal:
Pertama adalah GMV (Gross Merchandise Volume),
kedua adalah jumlah vendor dan jumlah pelanggan,
dan ketiga adalah jumlah laman situs yang dilihat.
Irwan menyampaikan, “Setelah Ralali mendapatkan dana tersebut, kini kami lebih dimudahkan untuk mewujudkan rencana-rencana bisnis, antara lain pembukaan kantor di Jelambar (Jakarta Barat) dan Alam Sutra (Tangerang Selatan), pembaruan dan peningkatan teknologi, serta penambahan personel.”
Dengan bantuan dana itu pula, per Juni 2015 Ralali memiliki database 350 vendor ternama dan 7.000 pelanggan, lebih dari 50.000 produk terdaftar, 35.000 kunjungan unik mingguan ke situs Ralali.com, dan omzet tahunan lebih dari 13 milyar.
Hubungan Pelanggan dan Aktivitas Marketing
Pertumbuhan yang diraih Ralali tentunya berhubungan dengan strategi komunikasi dan marketing dengan pelanggan. Apalagi sebelumnya disampaikan Aditya bahwa investor juga melihat jumlah vendor dan jumlah pelanggan sebagai salah satu tolok ukur valuasi perusahaan. Mendiskusikan mengenai pelanggan yang dianggap ‘sehat’, berarti pelanggan tersebut harus dikategorikan aktif, antara lain dalam bentuk aktivitas jual beli.
Saat berhadapan dengan para pelanggan dari kalangan industri, Ralali melakukan aktivitas yang berbeda dibandingkan dengan para pelaku bisnis B2B dan B2C. Perbedaan tersebut antara lain terlihat dari penekanan aktivitas lobi dan negosiasi untuk menjalin menginisiasi hubungan dan menjalin relasi jangka panjang.
Jika ada pelanggan dalam keadaan tidak aktif, Ralali akan melihatnya hingga enam bulan ke belakang. Jika benar-benar tidak ada aktivitas apa pun, Ralali akan memulai komunikasi, misalnya dalam bentuk telepon atau kiriman surel mengenai keberadaan produk baru. Hal-hal tersebut sejalan dengan kultur “Helping Others” yang diterapkan Ralali.
Masih dalam hubungan dengan model bisnis B2B, Aditya menyatakan,”Kami tidak akan melakukan aktivitas pemasaran ala B2C, misalnya iklan televisi atau iklan baliho di jalan protokol. Melakukan hal tersebut sama dengan membuang-buang waktu dan sumber daya finansial.”
Bagi Aditya, melakukan kegiatan marketing dalam bentuk edukasi langsung kepada calon pelanggan dan pelanggan melalui acara-acara seperti pameran dan ekspo jauh lebih efektif. “Malah, untuk bulan September 2015, Ralali sudah menjadi mitra utama di tiga pameran berskala raksasa,” pungkas Adit.
Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Majalah Marketing edisi September 2015