Revolusi Industri yang baru telah tiba dan dikendalikan oleh masyarakat dengan perantaraan teknologi sosial. Siapkah kita menghadapinya?
Dunia bisnis yang ada di tengah teknologi digital yang meruyak terasa begitu berbeda dibandingkan dengan masa lalu. Dahulu, saat media konvensional masih meraja, para eksekutif bisnis dan pelaku Public Relation (PR) selalu terlihat sigap melakukan berbagai manuver brilian untuk menciptakan opini positif mengenai merek.
Mengontrol situasi bisnis yang kurang kondusif melalui komunikasi intensif dengan insan media, kompetitor-kompetitor yang selalu lapar, dan konsumen dapat dilakukan dengan kepala tegak dan penuh percaya diri.
Namun sekali lagi, itu semua sudah menjadi masa lalu.
Kini, tren perubahan sosial perilaku masyarakat dan perilaku konsumen bertiup kencang. Angin perubahan kencang berhembus dalam kemudahan para konsumen untuk menulis dan membicarakan produk serta merek di berbagai media sosial. Para konsumen dalam wujud blogger, citizen journalist, vlogger (video blogger) bermunculan di mana-mana bak cendawan di musim hujan.
Dalam grup-grup diskusi internet, konsumen masa kini dengan sangat bebas memberikan rating positif dan negatif tanpa mampu dikendalikan oleh strategi-strategi komunikasi usang. Mereka mendefinisikan ulang merek-merek yang pada akhirnya menciptakan perubahan permanen terhadap cara dunia bekerja. Mau mengaku diam-diam maupun terang-terangan, banyak perusahaan memandang hal ini sebagai sebuah ancaman.
Dalam kenyataannya, kita dapat melihat hal ini sebagai suatu kesempatan. Memampukan perusahaan yang kita kelola dengan merespon dan memberdayakan teknologi sosial untuk berkelindan secara cepat dengan perubahan adalah jawabannya, khususnya saat berinteraksi dan berkomunikasi positif dengan konsumen kita. Inilah kunci esensial kesuksesan bisnis masa kini.
Perubahan sosial masyarakat era baru
Charlene Li dan Josh Bernoff dari Forrester Research dalam bukunya yang berjudul Groundswell (2008) telah menyadari indikasi perubahan sosial masyarakat era baru sejak jauh hari. Dalam bukunya, Li dan Bernoff menyampaikan bahwa Groundswell adalah tren sosial yang di dalamnya, orang-orang menggunakan teknologi untuk mendapatkan hal yang mereka butuhkan dari orang lain, bukan menggunakan institusi tradisional seperti perusahaan.
Groundswell adalah hasil perpaduan tiga hal, yaitu manusia, teknologi, dan ekonomi.
Hal pertama, manusia. Manusia selalu saling bergantung antara satu dengan yang lain. Manusia saling memberikan dukungan dan kekuatan. Dalam sejarah, manusia juga selalu memberontak terhadap institusi-institusi yang berkuasa dalam berbagai bentuk, antara lain serikat pekerja dan revolusi politik. Dengan kehadiran teknologi sosial, titik keseimbangan pun bergeser.
Hal kedua, teknologi. Teknologi adalah tenaga pendorong kedua Groundswell setelah manusia. Teknologi telah mengubah cara manusia berinteraksi dalam banyak hal. Sebagai contoh adalah kegilaan orang-orang Indonesia untuk aktif di jejaring sosial jauh melebihi negara-negara tetangganya di Asia Tenggara.
Mengapa hal ini patut diperhitungkan? Karena kehadiran piranti lunak ini menciptakan asumsi bahwa orang-orang dalam jumlah massal hadir di jejaring sosial untuk saling terhubung dengan cara yang lebih interaktif.
Hal ketiga, ekonomi. Pertumbuhan kelas menengah Indonesia yang menembus angka 74 juta jiwa (The Boston Consulting Group, 2012) dan pengakses internet yang mencapai 88.1 juta jiwa (APJII, 2014) jelas mengindikasikan kekuatan ekonomi yang ada dalam dunia digital di Indonesia. Angka pengakses internet yang sangat tinggi tersebut menunjukkan jika konsumen menghabiskan sebagian waktu mereka di internet dan waktu tersebut dapat diterjemahkan sebagai kesempatan untuk beriklan.
Meski perlu diketahui bahwa iklan bukan satu-satunya sumber pendapatan di dunia maya, namun pertumbuhan pengakses internet di Indonesia begitu tingginya hingga perusahaan mana pun yang mampu menciptakan traffic tinggi dapat menciptakan pendapatan bagi mereka.
Tiga hal di atas, gairah manusia untuk saling terhubung, teknologi baru yang interaktif, dan ekonomi digital telah menciptakan era baru. Sekali lagi menurut Li dan Bernoff, inilah fenomena baru yang tumbuh dengan sangat cepat dan bernama Groundswell. Groundswell dalam pandangan Li dan Bernoff tidak hanya eksis, tetapi juga tumbuh dan bergerak cepat sehingga menciptakan tantangan besar bagi para perumus strategi perusahaan.
Social Technographics Profile
Li dan Bernoff menyampaikan bahwa perusahaan mampu melakukan simbiosis mutualisme dengan konsumen. Cara mencapai keuntungan bersama tersebut antara lain melalui pengetahuan mengenai konsumen masa kini, khususnya perilaku mereka di jejaring sosial.
Agar dapat memahami perilaku konsumen dengan teknologi sosial, Li dan Bernoff memperkenalkan sebuah alat yang mereka sebut sebagai Social Technographics Profile. Memahami perilaku dan kesiapan konsumen merupakan tugas utama perusahaan sebelum menentukan tujuan dan strategi marketing perusahaan.
Melalui Social Technographics Profile, Li dan Bernoff mengelompokkan konsumen berdasarkan aktivitas mereka di social media. Awalnya ada enam kelompok yang dimasukkan ke dalamnya, yakni creators, critics, collectors, joiners, spectators, dan inactives. Pada tahun 2010, Li dan Bernoff menambahkan satu kelompok baru yakni conversationalists.
Indonesia’s Social Technographics Profile
Berbasis riset yang telah dilakukan Li dan Bernoff dalam Social Technographics Profile, pada pertengahan tahun 2011, Frontier Consulting Group telah melakukan survei digital culture di empat kota besar di Indonesia (Jakarta, Surabaya, Yogya, Medan) dengan total responden sebanyak 750 orang.
Hasil survei yang dilakukan Frontier Consulting Group memberikan gambaran profil Social Technographics di kota-kota besar Indonesia. Dari hasil riset tersebut, diketahui bahwa seorang individu dapat menjadi anggota di lebih dari satu kelompok sehingga persentase masing-masing kelompok jika dijumlahkan akan lebih dari 100%.
Dari survei Frontier yang telah dilakukan pada 2011, alat Social Technographics Profile memang masih mengacu pada versi awal yang dikeluarkan Li dan Bernoff pada 2008. Dengan kata lain, conversationalists belum dimasukkan sehingga jumlah kelompok aktif kultur digital Indonesia yang ditampilkan ada lima (minus inactives). Secara umum, jumlah creators di kota besar masih di bawah 10%. Creators adalah golongan konsumen yang aktif membuat konten-konten untuk dipublikasikan dan didistribusikan secara bebas dalam dunia daring.
Konten-konten yang diciptakan para creators dapat berupa artikel website, blog pribadi, musik, hingga video. Jika Indonesia kita bandingkan dengan negara-negara Asia lainnya berbasis survei yang dilakukan Forrester (Asia Pacific Technographics Benchmark Survey, Q1 2007), angka tersebut masih lebih rendah dari Hong Kong dan Jepang yang creatorsnya masing-masing sebesar 34% dan 22%.
Namun saat ditilik dari sisi joiners, hampir semua responden yang disurvei Frontier Consulting Group telah menggunakan jejaring sosial dengan persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan Hong Kong dan Jepang yang masing-masing sebesar 26% dan 22%. Joiners adalah pengguna jejaring sosial sebatas untuk menjaga hubungan dengan teman, kenalan, dan sanak keluarga mereka. Tidak mengherankan jika hingga hari ini Indonesia masih menempati urutan kedua dari jumlah pengguna Facebook di dunia dengan jumlah pengguna hampir 42 juta.
Saat melihat social technographics profile berdasarkan segmentasi umur dapat diperoleh temuan menarik. Untuk responden usia muda (13-17 tahun dan 18-22 tahun), mereka lebih aktif untuk menciptakan konten di internet. Pada tabel yang sama juga bisa kita lihat jumlah critics (kritikus hal-hal di media sosial) yang memuncak di umur 23-30 tahun dengan persentase sebesar 35.7%. Di sisi yang lain, jumlah collectors (tipe konsumen yang senang menjadi orang yang lebih dulu tahu mengenai berita-berita terbaru) paling tinggi ada pada segmentasi umur 13-17 tahun (64,2%) dan 41-55 tahun (59,1%).
Jika dilakukan segmentasi status sosial dan ekonomi, terlihat bahwa konsumen dari SES A+ jauh lebih banyak menjadi creators. Hal ini lumrah mengingat golongan ini memiliki akses yang lebih baik ke berbagai alat dan teknologi yang mampu membantu menciptakan konten baru di ranah internet. Ada indikasi bahwa semakin tinggi SES seseorang, semakin besar pula kemungkinan mereka menjadi critics. Hal yang berkebalikan berlaku untuk collectors.
Pesan penting bagi perusahaan
Secara umum, angka joiners dan spectators yang tinggi menunjukkan tingkat kesiapan konsumen untuk saling bertegur sapa dengan perusahaan melalui jejaring sosial. Temuan-temuan ini memberikan pesan penting bagi perusahaan untuk benar-benar mendengarkan apa yang dibicarakan konsumen di ranah digital.
Jangan abaikan apa yang menjadi bahan pembicaraan konsumen di internet. Jangan tidak peduli dengan tren perilaku konsumen generasi baru. Pahami mereka, lalu pelajari cara menaiki dan berseluncur dengan aman dan penuh gairah dalam ombak baru perubahan.
(Andika Priyandana; sumber: Groundswell (2008), Frontier Consulting Group).
Catatan: Versi tersunting artikel ini telah muncul di Majalah Marketing edisi Mei 2015