Pengaruh budaya asing semakin merasuki sendi-sendi kehidupan para individu Indonesia. Akankah berujung positif atau malah negatif?
Malam semakin larut di selatan Jakarta. Di samping jalan raya sebuah wilayah yang terkenal elit, terlihat deretan pertokoan dan restoran yang dengan sekilas pandang, orang-orang akan mafhum bahwa nama-nama tersebut lekat dengan budaya Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan. Di dalam sebuah restoran cepat saji yang berasal dari Paman Sam, segerombolan pemuda pemudi sedang bercengkerama dalam Bahasa Indonesia slang bercampur dengan Bahasa Inggris. Obrolan berlangsung seru tanpa peduli dengan tata bahasa dan pengucapan Bahasa Inggris yang masih salah di sana-sini. Saat melirik penampilan mereka, para cewek terlihat mengenakan lensa kontak berwarna biru dan mengenakan celana pendek khas girl band Korea. Sedangkan gerombolan cowok terlihat kompak berpotongan rambut side part pompadour.
Paparan kisah di atas terdengar familiar?
Nongkrong hingga larut malam (begadang) di dalam restoran cepat saji merek asing dengan mengenakan berbagai atribut asing dan berkomunikasi yang disisipi bahasa asing. Masuknya budaya asing ke Indonesia terasa semakin cepat menyebar ke segala penjuru berkat globalisasi yang dibalur dengan teknologi digital bernama internet. Sistem kebudayaan masyarakat Indonesia pun terlihat berubah dengan cepat.
Individu Indonesia tahun 2015 terlihat berbeda dibandingkan dengan tahun 2005, apalagi 1995 atau 1985. Teknologi sosial (baca: jejaring sosial) yang diakses dan digunakan sangat banyak orang Indonesia berpengaruh terhadap karakter sosial dan budaya dari lingkungan sosial masyarakat.
Satu hal dapat dipastikan, masuknya budaya asing ke Indonesia mempunyai pengaruh yang sangat peka serta memiliki dampak positif dan negatif (Soerjono Soekanto, 1990).
Dampak positif dari masuknya budaya asing berarti juga masuknya pengetahuan dan pengalaman baru. Saat kita mampu memanfaatkan dan memberdayakan pengetahuan tersebut, pembangunan perekonomian Indonesia dapat semakin makmur dan mewujudkan kehidupan masyarakat yang sejahtera. Sedangkan dampak negatifnya adalah etika, pergaulan, cara berbusana, dan berbagai hal lain yang sering menimbulkan gesekan sosial di tengah masyarakat.
Kelas Menengah Indonesia
Tidak dapat dipungkiri, peningkatan konsumsi budaya asing yang terasa semakin pesat khususnya dalam satu dekade terakhir antara lain disebabkan ledakan jumlah kelas menengah Indonesia. Berdasarkan data Bank Dunia (2012), jumlah kelas menengah Indonesia memiliki proporsi sebesar 56.5% dari total jumlah penduduk.
Kelas menengah Indonesia dapat digambarkan sebagai kelas yang radikal secara ekonomi karena selalu ingin membeli dan mengonsumsi produk-produk baru tanpa bisa membedakan mana yang benar-benar kebutuhan dan mana yang sekedar keinginan.
Individu Indonesia masa kini cenderung berpeluang lebih konsumtif karena iming-iming diskon, penggunaan kartu kredit yang lebih mudah, dan daya tarik pusat perbelanjaan (Dr. Bagong Suyanto, 2015).
Dengan demikian, dari perspektif ekonomi apakah saat ini sudah dapat ditahbiskan terjadi perubahan perilaku konsumen Indonesia? Menurut Ujang Sumarwan (Guru Besar Ilmu Perilaku Konsumen IPB), jawabannya bisa ya dan tidak.
Ujang menyampaikan, “Ya, telah terjadi perubahan perilaku yang mendasar dari sisi frekuensi dan perilaku yang sebelum ada menjadi tidak ada atau sebaliknya yang tadinya ada menjadi tidak ada.”
Jawaban “Ya” diberikan antara lain karena keberadaan internet yang semakin mudah dan canggih dengan biaya yang semakin murah. Akibat lanjutannya adalah, semakin tingginya penggunaan akses terhadap informasi global. Sedangkan jawaban “Tidak” keluar karena budaya yang Indonesia banget masih tetap eksis. Sebagai contoh, perhatikan bahwa tidak terjadi perubahan konsumsi beras sebagai makanan pokok sehari-hari.
Selain itu, perilaku nongkrong hingga larut malam (begadang) sebenarnya hal yang biasa terlihat di berbagai daerah di Indonesia. Bambang Sukma Wijaya (2015) menyampaikan bahwa kebiasaan begadang bukan hal baru.
Begadang biasanya dilakukan beberapa pemuda atau warga desa ketika melakukan ronda malam secara bergilir untuk menjaga keamanan lingkungan. Begadang juga biasanya dilakukan warga secara bersama ketika akan ada hajatan di sebuah rumah warga kampung.
Biasanya, begadang disertai minum kopi, kadang dengan penganan yang disediakan tuan rumah atau warga sekitar, merokok sambil bermain gaple atau kartu, dan kadang pula ditingkahi alunan suara musik dangdut dari siaran radio lokal atau dari mini tape compo yang disetel cukup kencang.
Kesenangan sosial melalui asing
Selain pengaruh ekonomi, dapat diindikasikan pula bahwa dengan mengenakan berbagai atribut asing, khususnya di ruang publik memberikan kesenangan karena membuat individu tersebut dapat saling bersosialisasi dan berkomunikasi sekaligus menyebarkan dan menyerap makna-makna yang ada.
Masih ingat kisah Vicky Prasetyo alias Hendrianto Bin Hermanto? Vicky Prasetyo terkenal dengan kosakatanya yang unik seperti kontroversi hati, twenty nine my age, hingga basicly. Secara sosial, perilaku Vicky mengindikasikan bahwa dengan penggunaan kosakata yang terdengar sulit nan canggih, termasuk kosakata asing meskipun salah saat mengucapkan membuat penggunanya merasa seakan-akan memiliki status sosial yang tinggi dan terkesan intelek.
Selain kosakata ‘canggih’ dan asing, konsumsi merek-merek asing disinyalir turut memberikan penggunanya kenikmatan suasana sosial terkait hubungan dengan orang lain. Bentuk-bentuk hubungan tersebut antara lain relaksasi, kontrol, pelarian dari tekanan, pengakuan, persahabatan, kasih sayang, dan kesenangan.
Indonesia memanfaatkan asing
Kuatnya konsumsi hal-hal asing di Indonesia ternyata dipahami oleh individu-individu yang pandai mengendus kesempatan bisnis. Munculnya gaya hidup dan perilaku yang serba condong ke budaya asing diafirmasi dan dipenuhi oleh merek-merek berbau asing namun sejatinya sangat lokal dengan menawarkan nilai-nilai dan layanan yang mendukung keinginan konsumen-konsumen Indonesia untuk membelanjakan uangnya terhadap hal-hal asing.
Sebuah hal yang sebenarnya ironis karena individu-individu Indonesia terasa semakin bersikap asing dengan budaya lokal dan terasa semakin lekat dengan budaya asing.
Untunglah masih ada warisan budaya-budaya Indonesia yang dapat dikatakan sangat sulit untuk dijadikan asing dan masih dikenakan dengan bangga oleh orang Indonesia dan bahkan orang asing, misalnya batik. Kini dan ke depan, semoga semakin banyak budaya Indonesia yang mampu menembus pasar internasional dengan kekuatan setara atau bahkan melebihi batik.
Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Majalah Marketing edisi Mei 2015
Gaya hidup seperti itu boleh saja sih, asal sesuai dengan kantong. hehe
Bagus. Soal bahasa, banyak di Indonesia penggunaan bahasa yang campur aduk. Lu gue, itu yang sering kita dengar. Semakin lama muncul kosa kata baru. Dan ironisnya, itu diterapkan dalam film.
Ketika saya menyimak subtitle sebuah film luar negeri terjemahannya bagus. Getolnya Kemdikbud kampanye penggunaan bahasa Indonesia mungkin itu salah satu alasannya.