Menyelami Perilaku Pasar Anak dan Remaja

Pasar anak dan remaja, pasar yang sangat menarik namun harus berhati-hati saat mengelola. Kenapa?

Potret remaja Indonesia dalam film Ada Apa dengan Cinta - sumber foto: kawankumagz.com

Potret remaja Indonesia dalam film “Ada Apa dengan Cinta” – sumber foto: kawankumagz.com

Bagi Anda pemerhati dunia bisnis dan pemasaran, khususnya pasar remaja dan anak, tentunya Anda mengetahui betapa gegap gempitanya efek konser One Direction (band remaja pria asal Inggris) pada tanggal 25 Maret 2015 terhadap kalangan remaja putri dan anak sekolah Indonesia.

Sedemikian ngebetnya para fans One Direction melihat aksi pujaan mereka, selain bersedia membayar harga tiket menjulang dari para calo, tidak sedikit remaja yang beramai-ramai meminta izin secara terbuka kepada sekolah untuk menyaksikan konser tersebut.

Bahkan, ada juga di antara para remaja yang nekad meminta orang tuanya membuat surat izin dan ada juga yang membolos demi menonton konser tersebut (Berita Trans 7, 25.3.2015).

Remaja dan perilaku konsumsinya

Jika sebelumnya kita sudah mengetahui kefanatikan dan kekuatan daya beli remaja Indonesia melalui contoh One Direction, mari sekarang kita mencoba melihat kisah remaja Amerika Serikat.

Berdasarkan data, banyak peritel dan pengelola merek yang menahbiskan pasar remaja sebagai salah satu tempat utama bagi mereka untuk beraksi. Khususnya saat mereka sudah mengetahui bagaimana para remaja ini menghabiskan uangnya.

Firma riset Piper Jaffray belum lama ini mengadakan riset yang dipublikasikan dengan judul “Taking Stock with Teens”. Melalui data dan informasi meruah yang tersaji di dalamnya, Piper Jaffray menunjukkan pandangan lebih dari 7.000 remaja Amerika Serikat berusia rata-rata 16 tahun pada tahun 2014. Berdasarkan hasil riset tersebut, kemampuan konsumsi remaja Amerika Serikat terus meningkat secara konstan dalam kategori busana, makanan, aksesoris, otomotif, sepatu, barang-barang elektronik, dan video game.

Apa alasan yang menyebabkan mereka mampu terus meningkatkan kemampuan konsumsi mereka? Jawabannya adalah para orang tua yang terus meningkatkan kuantitas pemberian uang kepada anak-anak mereka. Bagi para remaja yang berasal dari golongan ekonomi menengah atas, orang tua adalah sumber pendapatan utama bagi 70% remaja, sedangkan bagi remaja dari golongan ekonomi rata-rata, sebanyak 66%  menjadikan orang tua sebagai sumber pendapatan utama.

Piper Jaffray juga melihat tempat-tempat para remaja tersebut berbelanja, antara lain internet, pusat perbelanjaan, peritel diskon, dll. Dari pengamatan tersebut, terdapat tiga masukan utama yang dapat diambil mengenai persepsi remaja terhadap merek dan perilaku berbelanja, yaitu:

Pertama, remaja adalah segmen yang sangat memerhatikan merek dan loyal terhadap merek. Dalam banyak kasus di riset ini, merek pemimpin di sebuah kategori sudah memimpin dalam jangka waktu lebih dari setahun.

Kedua, remaja memiliki lebih banyak uang untuk dibelanjakan. Pendapatan mereka meningkat dan ucapan terima kasih harus diberikan kepada para orang tua. Mereka berencana untuk menghabiskan lebih banyak uang pada tahun ini dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Ketiga, remaja memilih untuk berbelanja di toko. Ya, remaja berbelanja secara daring, tetapi bukan pilihan pertama mereka dan khususnya bagi remaja putri, pilihan mereka untuk berbelanja secara daring sedang mengalami penurunan.

Kini, bagaimana dengan perilaku remaja Indonesia? Berdasarkan riset Divisi Riset Frontier Consulting Group (2015), khususnya mengenai produk-produk yang dibeli para remaja Indonesia di internet menunjukkan adanya penguatan khusus para produk-produk busana, antara lain pakaian dan sepatu saat membandingkan tahun 2015 dengan tahun 2014.

Namun untuk kategori-kategori lainnya tidak mengikuti penguatan dan malah menunjukkan pelemahan daya beli saat membandingkan tahun 2015 dengan tahun 2014. Kategori-kategori tersebut antara lain aksesoris, elektronik, buku, audio video file, dan e-book.

Meski demikian, para remaja tahun 2015 memiliki pengaruh kuat terhadap keputusan pemilihan atau pembelian produk, antara lain biskuit, buku, pakaian, telepon seluler, tempat bercengkerama, makanan, gawai, rekreasi, vitamin, kursus, restoran, obat-obatan, dan dokter.

Anak-anak Indonesia dalam perspektif marketing

Jika sebelumnya kita melihat kasus pasar remaja, kita juga perlu tahu bahwa anak-anak sudah menjadi target utama para pelaku pasar dan pemain ritel karena tiga hal utama (Schor 2004; Story and French 2004), yaitu:

(1) Anak-anak memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap keputusan pembelian orang tua (Clarke and McAuley 2010), khususnya produk-produk yang dikonsumsi anak-anak namun dibeli dengan uang orang tua mereka;

(2) Anak-anak memiliki anggaran keuangan alias uang jajan yang jumlahnya meningkat secara teratur dalam tahun-tahun terakhir;

(3) Perusahaan berusaha membuat anak-anak lekat dengan merek mereka sejak dini, dengan tujuan utama memaksimalkan loyalitas konsumen terhadap merek dalam jangka panjang (McDougall and Chantrey 2004).

Sekarang, mari kita perhatikan mengenai faktor pengaruh anak-anak terhadap keputusan pembelian atau pemilihan produk. Berdasar survei Divisi Riset – Frontier Consulting Group (2015), persentase pengaruh yang dimiliki anak-anak adalah sebagai berikut: Dokter (13.8%),  Obat-obatan (21.0%), Vitamin (34.9%), Kursus (38.4%), Restoran (45.6%), Sepeda (47.2%), Buku (48.2%), Makanan (50.3%), Rekreasi (51.9%), Biskuit (72.2%), dan permen (73.7%).

Saat kita melihat dari perspektif anggaran keuangan alias uang jajan anak-anak Indonesia, besaran per harinya terus menunjukkan peningkatan meski sedikit melemah pada tahun 2015. Berdasar survei Divisi Riset – Frontier Consulting Group (2015), uang jajan anak-anak Indonesia per hari sejak lima tahun terakhir adalah sebagai berikut: Rp 7.191 (2011), Rp 7.929 (2012), Rp 7.957 (2013), Rp 9.839 (2014), Rp 9.443 (2015).

Kini, setelah kita mengetahui data-data dan informasi tersebut, apa hal selanjutnya yang perlu diketahui dan dijadikan pegangan? Jawabannya adalah kejujuran. Kejujuran dalam melakukan strategi pemasaran terhadap pasar anak dan remaja adalah hal yang sangat penting. Dengan adanya paparan informasi dan kemajuan teknologi yang masif, cepat atau lambat mereka akan mendeteksi kecurangan dalam strategi pemasaran suatu merek.

Berdasarkan survei Brandchild (2003) yang dilakukan terhadap ribuan anak di Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa dan Asia, mereka juga menemukan bahwa anak-anak berhak mendapatkan komunikasi pemasaran dengan standar etika tertinggi yang dapat diformulasikan oleh para pemasar dan pengelola merek. Membangun merek pemimpin dan menciptakan loyalitas bagi generasi anak dan remaja sangat bergantung dengan standar etika tinggi.

Maka berhati-hatilah jika membidik pasar anak dan remaja. Jika pemasar dan pengelola merek mampu menjaga terpenuhinya faktor tersebut secara konsisten, merek yang dikelola akan mendapatkan hasil yang lebih dari sekedar loyalitas.

Jakarta, 26 Maret 2015

(Andika Priyandana, dari berbagai sumber)

Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Majalah Marketing edisi April 2015

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s