Menyampaikan cerita dalam perspektif marketing adalah salah satu cara terbaik meniupkan ruh kehidupan ke dalam merek Anda dan hal ini biasa menjadi komponen utama dalam pendekatan content marketing.
Saat kita melihat sebuah produk Lego, mungkin di antara kita ada yang beropini Lego hanyalah balok plastik. Produknya gampang ditiru. Lalu, jika Lego memang hanya balok plastik dan gampang diimitasi, kenapa orang tua kita atau kita sendiri tidak membeli produk aspal Lego? Kenapa merek Lego dapat bertahan sedemikian lama meski awalnya sempat dicap sebagai merek Eropa yang ketinggalan zaman?
Satu hal tak terbantahkan, Lego kini resmi menjadi produsen mainan terbesar dunia dalam hal pendapatan dan keuntungan. Pada hari Selasa, 2 September 2014, Lego mengumumkan bahwa penjualannya telah mencapai $2.03 milyar pada paruh pertama 2014. Angka ini mengalahkan pendapatan $2 milyar Mattel secara tipis pada periode yang sama (Wall Street Journal, 2014).
Kesuksesan Lego menunjukkan kekuatan luar biasa dari sebuah merek. Lego membuktikan bahwa konsumen tidak sekedar membeli Lego. Mereka membeli apa yang mampu dilakukan Lego kepada mereka.
Bahkan, Lego mampu menunjukkan kekuatan merek yang lebih jauh dari sekedar produk fisik. Melalui The Lego Movie, Lego menunjukkan bahwa cerita selalu menjadi hal penting. Cerita adalah esensi dari komunikator terhebat dan tersukses sejak sejarah manusia mulai tercipta.
Kisah di balik The Lego Movie
Saat kita memperhatikan para penonton The Lego Movie, tidak sedikit terselip para golongan orang tua yang ikut menemani anak-anaknya turut terkesima dengan film tersebut. Bahkan sebenarnya, sebagian di antara mereka telah memainkan Lego semenjak masa mereka masih menjadi anak-anak.
Bagi para marketer yang menyaksikan The Lego Movie, mereka pasti mengetahui bahwa film tersebut sebenarnya iklan. Iklan komersial mengenai mainan dengan durasi 90 menit yang paling sukses yang pernah ada. Melalui The Lego Movie, merek Lego telah merencanakan pembuatan kisah yang sangat menarik dan menggunakan produk-produk mereka sendiri sebagai bintang.
Efeknya sudah dapat dipastikan sangat mendorong penjualan Lego. Atau jika ada yang sudah memiliki mainan Lego namun lama tidak memainkannya, dapat dipastikan mereka segera mengambil Lego dari tempat penyimpanan, membersihkannya, dan kembali memainkannya.
The Lego Movie adalah contoh cara bercerita yang sangat sukses dan mampu mendorong para konsumennya untuk mengambil tindakan.
Bagaimana The Lego Movie melakukannya?
Lego telah memilih langkah bijak untuk tidak membuat fim lainnya mengenai ‘mainan’. The Lego Movie dirancang untuk bertutur secara inovatif, di luar dugaan, dan tetap simpel dalam penyampaiannya. Film ini seakan-akan dirancang untuk membuat para penontonnya, dewasa dan anak-anak, untuk menyanyikan “Everything is awesome” saat meninggalkan ruangan bioskop.
Saat kita memperhatikan suntingannya, pengambilan jeda, dan dialog yang ada, terlihat bahwa semua elemen-elemen yang ada dalam The Lego Movie telah dirancang dengan sangat rapi agar sedekat mungkin memiliki warna yang sama dengan anak-anak saat bercerita. Strategi bercerita ala The Lego Movie pun sukses membuat orang dewasa merasakan kembali khayalan mereka saat bermain kala masih anak-anak.
Selain hal-hal di atas, The Lego Movie juga memasukkan plot-plot yang mampu merekatkan konsumen (sebagai contoh adalah kita bersimpati saat si tokoh utama sedang merasa terpuruk), adanya elemen-elemen kejutan, tipe-tipe karakter yang menarik, tujuan hidup yang memikat dari si jagoan, dan efek-efek emosional berkelanjutan bagi audiens.
Hal yang paling menarik dari strategi bercerita ala The Lego Movie adalah, semua langkah-langkah tersebut benar-benar sejalan dengan temuan sains.
Untuk membuat cerita yang memukau dan memikat audiens dalam jangka waktu lama, kisah tersebut perlu dimulai dengan gambaran dunia tempat sang pahlawan berada, kemudian pahlawan tersebut menerima panggilan untuk melakukan petualangan, membuat dia menolak panggilan tersebut pada awalnya, membuat dia menemui guru yang meyakinkannya untuk menerima panggilan tersebut, dan seterusnya.
Semua struktur dan teknik bercerita tersebut juga digunakan dalam film-film legendaris lainnya seperti Avatar, The Lion King, Star Wars, dan Lord of the Rings. Inilah sains dalam bercerita.
Kemudian jika melihat dari sudut pandang buku-buku pembuatan skenario yang saintifik, mereka menyampaikan bahwa idealnya adegan pertama membuka premis atau dasar cerita selama sekitar 30 menit dan berakhir dengan membuat si pahlawan menerima tantangan.
Kemudian adegan kedua sebaiknya berjalan sekitar 60 menit dan menceritakan rentetan tantangan yang harus dihadapi si pahlawan demi mencapai tujuannya, misalnya tantangan dari musuh, dari kekuatan yang lebih tinggi, dengan keluarga, dengan teman, dan rekan seperjuangan.
Terakhir pada adegan ketiga yang berjalan sekitar 30 menit, inilah saat adegan-adegan yang ada mencapai klimaks dan kesimpulan tercipta. Cetak biru bercerita ini juga ada dalam The Lego Movie.
Lalu dalam buku karya Gene Del Vecchio yang berjudul Creating Blockbusters, disampaikan temuan bahwa para penonton film menginginkan pahlawan mereka meraih tujuan-tujuan yang menariknya, sesuai dengan Teori Hirarki Kebutuhan Maslow, misalnya kebutuhan bertahan hidup, keamanan, hingga aktualisasi diri.
Hal ini dapat dimaklumi karena semua kisah-kisah yang hebat sejatinya mengenai hal-hal esensial yang memotivasi peradaban manusia. The Lego Movie menceritakan semua kebutuhan manusia yang tertera dalam Teori Hirarki Kebutuhan Maslow.
Ide menginspirasi, bukan produk
Dalam pelatihan para wiraniaga, rutin disampaikan kata-kata seperti, “Anda bukan menjual mobil. Anda menjual keamanan dan kenyamanan dalam berkendara.”
Prinsip yang ingin disampaikan adalah, bukan produk yang menjadi alasan dan motivasi seseorang untuk membeli. Tetapi apa yang mampu dilakukan produk tersebut kepada para konsumen yang sebenarnya menjadi alasan dan motivasi pembelian.
Inilah prinsip yang telah dijalankan Lego sejak didirikan pada tahun 1949. Lego memberikan cerita yang menjadi alasan dan motivasi para konsumennya membeli produk Lego dan melalui The Lego Movie, Lego telah meningkatkan standar dalam menceritakan merek.
(Andika Priyandana, dari berbagai sumber)
Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Majalah Marketing edisi April 2015