Ingat dan terapkan sebaik mungkin tata krama dan tata cara periklanan di Indonesia jika tidak ingin nilai merek Anda terperosok di mata konsumen.
“Mula-Mula Malu, Lama-Lama Mau,” kalimat tersebut terpampang dalam baliho-baliho sepanjang jalan protokol di Jakarta, Jatinangor, hingga Cirebon yang menampilkan iklan rokok Sampoerna A-Mild. Selain kalimat tersebut, masih ada gambar yang memperlihatkan sepasang muda mudi saling berangkulan dengan wajah nyaris bersentuhan.
“Liburan ke Aussie lebih mudah dibanding ke Bekasi,” adalah bunyi kalimat iklan Indosat yang sempat diunggah di akun Twitter @IndosatMania. Dalam iklan tersebut, ditampilkan gambar sepasang muda mudi sedang sibuk dengan ponselnya dan berlatar belakang Sydney Opera House.
Bagi Anda para marketer dan pelaku yang berkecimpung dalam dunia periklanan, Anda pasti mengetahui efek dari kedua iklan yang berumur pendek tersebut di masyarakat. Untuk iklan Sampoerna A Mild, kecaman yang muncul berupa pernyataan-pernyataan bahwa iklan Sampoerna A Mild tersebut berkonotasi mesum, tidak senonoh, dan melecehkan perempuan. Sedangkan untuk iklan Indosat, kecaman yang menyeruak berupa pernyataan-pernyataan bahwa kota Bekasi telah dihina Indosat melalui pembandingan dengan negara Australia.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Nasi sudah menjadi bubur. Meski Sampoerna dan Indosat sudah bertindak cepat dengan menarik iklan-iklan tersebut dari muka publik, dapat dipastikan kasus ini sudah memberikan kontribusi percakapan negatif terhadap merek Sampoerna A Mild dan Indosat di tengah-tengah masyarakat, khususnya di ranah internet.
Lebih jauh lagi, hal ini menimbulkan rentetan pertanyaan berupa, “Apakah perusahaan-perusahaan besar tersebut tidak mengetahui etika dan tata krama beriklan di Indonesia?” “Apakah di Indonesia tidak ada pedoman periklanan yang menjadi pegangan dalam proses beriklan di Indonesia?”
Etika Pariwara Indonesia
Iklan ialah pesan komunikasi pemasaran atau komunikasi publik tentang sesuatu produk yang disampaikan melalui sesuatu media, dibiayai oleh pemrakarsa yang dikenal, serta ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat. Sedangkan yang termasuk dalam pengertian iklan ialah iklan korporat, iklan layanan masyarakat, iklan promo program; yang tidak termasuk dalam pengertian iklan ialah pemerekan (branding), ajang (event), dan pawikraya (merchandising).
Penjelasan mengenai iklan dan pengertian iklan tersebut tertera dengan jelas dalam Etika Pariwara Indonesia (Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia), disusun oleh Dewan Periklanan Indonesia, dan sudah beredar secara resmi sejak tahun 2005.
Dengan demikian, sebenarnya di Indonesia ada “kitab” yang menjadi pedoman etika dan tata krama beriklan di Indonesia bernama Etika Pariwara Indonesia (EPI). Melalui EPI, para pihak yang terlibat dalam proses produksi dan publikasi iklan dapat mengetahui secara lengkap kode etik dan rambu-rambu beriklan di Indonesia secara lengkap, mulai dari isi iklan (misal hak cipta, bahasa, perbandingan, dan peniruan) hingga sanksi yang berlaku bagi para pelanggar peraturan.
Lebih jauh lagi, dalam EPI yang turut diratifikasi dan disepakati pemberlakuannya oleh AMLI (Asosiasi Perusahaan Media Luar-griya Indonesia), APPINA (Asosiasi Perusahaan Pengiklan Indonesia), ASPINDO (Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia), ATVLI (Asosiasi Televisi Lokal Indonesia), ATVSI (Asosiasi Televisi Swasta Indonesia), GPBSI (Gabungan Perusahaan Bioskop Indonesia), PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia), PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia), SPS (Serikat Penerbit Suratkabar), dan Yayasan TVRI (Televisi Republik Indonesia), telah termaktub pernyataan bahwa industri periklanan memiliki keharusan melindungi konsumen atau masyarakat secara wajar.
Batasan dalam Beriklan
Jadi, iklan sebagai salah satu bentuk komunikasi pemasaran seharusnya memahami audiens yang dituju tidak secara sempit, tetapi secara luas. Maksud “luas” di sini adalah melihat faktor-faktor lain seperti budaya, sosial, kebiasaan, serta berbagai norma lainnya yang berlaku di masyarakat.
Jika sebuah perusahaan ingin agar merek yang dikelolanya dapat diterima dengan baik di benak masyarakat, perusahaan tersebut wajib menjalankan riset terlebih dahulu, termasuk di dalamnya pemahaman tata cara dan tata krama periklanan yang berlaku, antara lain dengan melindungi dan menghargai khalayak, tidak merendahkan agama, budaya, negara, dan golongan, serta tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Tanggung Jawab Pribadi dalam Beriklan
Dengan memahami semua hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya, para pelaku yang terlibat dalam proses pembuatan iklan perlu berinisiatif menjalankan tanggung jawab dalam manajemen iklan mereka, antara lain dengan:
(1) Membuat peraturan internal yang sejalan dengan kode etik, nilai, norma, etika, dan posisi hukum perusahaan sambil tetap merujuk kepada EPI;
(2) Lebih ketat dalam menelusuri dan mengawasi aktivitas pembuatan iklan sehingga saat menemukan iklan yang melanggar kode etik, iklan tersebut dapat segera disingkirkan sebelum dipublikasikan;
(3) Menginformasikan kepada khalayak umum termasuk para konsumen merek mengenai kode etik yang dijalankan perusahaan;
(4) Memperhatikan keluhan dan masukan para konsumen mengenai iklan merek yang dikelola;
(5) Menjalankan transparansi manajemen iklan di internal perusahaan dan jadikan sebagai bagian dari sistem yang berlaku.
Saat langkah-langkah ini diimplementasikan secara utuh, perusahaan mampu menjawab dengan lugas semua pertanyaan mengenai aktivitas dalam beriklan, mengurangi risiko terkena bidik oleh kritik dan keluhan yang disampaikan oleh masyarakat atau pemangku kepentingan, dan tentunya, meraih kepercayaan dari para konsumen, membuat mereka percaya kepada perusahaan dan merek-merek yang dikelola.
Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Majalah Marketing edisi Februari 2015
waduh, kadang saya jarang merhatiin iklan-iklan di Baliho,
mungkin karena tergoda para pengiklan memasukkan kata-kata aneh seperti itu agar masyarakat lebih tertarik untuk melirik baliho.
apakah mungkin demi mendapatkan laba, brand pun sampai dilupakan
Mungkin maksudnya biar bisa menarik perhatian konsumen dengan cepat. Tapi agak melupakan etika. Nasibnya kayak iklan A Mild dan Indosat deh.
wah kalo brand sudah kurang dipercaya masyarakat, sulit juga untuk mengembalikannya ya mas.
effort yang dikeluarkan untuk memperbaiki itu, bakal lebih besar, dibandingkan kalo diawal mereka niat research terlebih dahulu
Pengiklan seharusnya mencerdaskan pembeli, mengajak kepada hal yang baik. Pembeli harus cerdas dalam memandang iklan.