Pantaskah Indonesia Berdemokrasi?

Apakah Indonesia benar-benar sudah pantas menjalankan sistem demokrasi?

Percakapan di bawah adalah hasil percakapan Facebook yang dimulai dari status saya yang berbunyi, “Apakah Indonesia benar-benar sudah pantas menjalankan sistem demokrasi?”

Alasan saya membuat status tersebut karena melihat situasi dan kondisi pemerintahan, tata kelola negara Indonesia, serta perilaku rakyat Indonesia yang tidak sedikit mengungkapkan pikirannya secara sangat kasar, anonoh, dan memaksakan kepentingan pribadi serta golongannya.

Demokrasi yang memiliki arti “kekuasaan rakyat” belum bisa dijalankan secara penuh. Bagaimana bisa penuh jika syarat-syaratnya belum terpenuhi?

Maka, obrolan mengenai demokrasi kemudian terjadi utamanya antara mas Rama Wijaya, Fendy Pramana Masli, dan saya. Silahkan dinikmati 🙂

Indonesia

Indonesia

Rama Wijaya (RW): Demokrasi yang bagaimana? Apakah demokrasi voting ala Barat, yang berujung pada terbentuknya demokrasi poliarki, atau demokrasi musyawarah untuk mufakat, dimana dipraktikkan pada masa Yunani kuno dan desa2 di dunia timur???

Andika Priyandana (AP): Demokrasi ala Indonesia sekarang mas Rama. Demokrasi langsung / liberal yang setiap individu dapat berpartisipasi melalui wakil yang dipilih melalui pemilihan umum. Bukan terpimpin ala Soekarno dulu, atau semu (Pancasila) ala Soeharto.

RW: Apakah demokrasi langsung merupakan cerminan dari kebutuhan sesungguhnya dari masyarakat?? Dalam demokrasi yang sehat, politikus harus mempunyai ideologi terlepas apakah ideologi tersebut diterima atau tidak oleh masyarakat yang memilih atau tidak. Dalam demokrasi poliarki yang berjalan sekarang ini, politikus miskin ideologi, mereka cenderung fokus pada isu2 yang populer di masyarakat dan menjadikannya materi “jualan” untuk kemudian masyarakat membelinya dengan suara mereka.

Yang ngeri lagi, ketika terjadi oligopoli politik, dimana pihak yang harusnya menjadi oposan malah menjual “suara politik” mereka untuk kepentingan pribadi. Sebagaimana diakui oleh salah seorang anggota dewan kenalan saya dari group yang harusnya menjadi oposan pemerintahan, dia bilang, “Di Dewan itu tidak ada ideologi politik, yang ada kepentingan pribadi dan baru setelahnya kepentingan partai, jika memungkinkan.”

Jadi apakah demokrasi lansung itu tepat atau tidak di Indonesia??? Bahkan para akademisi politik di Amerika (negara yang sudah lama menjalankannya), juga meragukan bahwa itu adalah sistem terbaik.

AP: Saya secara pribadi ngeliatnya ini keinginan rakyat, bukan kebutuhan rakyat, mas Rama. Saya sempat diskusi dengan mentor saya, mantan menteri mengenai demokrasi dan baca berbagai penelitian mengenai demokrasi dan persyaratannya. Kalau berdasar konsep, Indonesia belum cocok demokrasi langsung. Itu berdasar konsep.

Di sisi lain, Indonesia ini terdiri dari berbagai macam ras, suku, keyakinan, kemauan, yang bisa dikatakan membuat negara Indonesia menjadi negeri yang sangat kompleks. Melebihi kompleksitas negara-negara Timur Tengah, India, dan China. Sekali lagi, ini menurut saya dan belum tervalidasi. Sehingga rasanya tidak pantas untuk diberlakukan sistem otoriter yang jinak atau sistem lainnya yang cenderung satu warna.

Saya sempat kepikiran sistem federasi.

RW: Sistem demokrasi yang kita adaptasi dari dunia Barat saat ini juga sebenarnya juga otoriter kok, cuma terselubung legitimasi “pilihan rakyat”.

Beberapa saat sebelum pengambilan sumpah dari Presiden pertama Amerika, George Washington, Thomas Jefferson sebagai salah seorang penandatangan UUD Amerika, menulis demikian kepada seorang rekan kerjanya, James Madison yang juga dari kalangan elite besar Amerika (dan selanjutnya dua orang ini menjadi Presiden):

“Kediktatoran lembaga legislatif merupakan bahaya besar dan nyata yang harus kita takuti. Demikian pula kediktatoran lembaga eksekutif; akan tiba pula gilirannya pada satu saat nanti.”

Pada kenyataannya, kekuatiran tersebut sangat beralasan. Belum pernah ada negara yang menganut trias politika, untuk tunduk dan patuh kepada lembaga Yudikatif, sebaliknya Yudikatif justru dikendalikan kalau tidak oleh eksekutif bisa juga oleh legislatif, tergantung kemana angin politik bertiup.

RW: Menanggapi masalah pluralisme, seharusnya tidak menjadi isu untuk kompleksitas, dia akan menjadi kompleks dalam kacamata politik, tetapi tidak demikian dalam mata hukum. Bukanlah azas2 hukum itu bersifat universal melebihi peradaban dan kebudayaan??

AP: Contoh yang mas Rama berikan memang menggambarkan banget keadaan Trias Politika ala Indonesia sejak zaman Soekarno, sekaligus menggambarkan semangat feodalisme yang masih melekat kuat di DNA orang Indonesia.

Pluralisme itu kompleksitas, mas. Tidak sekedar dari kacamata politik, tapi juga dari kacamata budaya, dll. Kompleksitas juga tidak selalu negatif, tapi bisa juga positif. Karena strategi kompleksitas, makanya Hizbullah sukses bikin Israel pusing kepala tujuh keliling. Malah strategi kompleksitas Hizbullah sampai dijadikan topik riiset dan analisis orang-orang Amrik dan tentunya, Israel. Mereka, yang saya tau, baru bisa lumayan mendeskripsikan tetapi belum bisa menemukan solusi mematikan strategi kompleksitas Hizbullah, karena memang sulit. sekali. Kalau mas Rama ada waktu, coba baca2 Complexity Theory

Karena kompleksitas itu pula, saya sempat komen di wall Bahri bahwa pemimpin sekaliber Putin, Ahmadinejad, dan Obama pun pusing kepala kalo menghadapi masalah kompleksitas di Indonesia. Statusnya memang abnormal.

RW: Semangat feodalisme sebenarnya bukan hanya melekat pada DNA orang Indonesia saja, tetapi semua bangsa di dunia termasuk Eropa dan Amerika. Lihat saja bagimana para senator di Amerika, lebih dari separuhnya diisi dengan anak atau cucu para senator sebelumnya. Makanya saya tulis kekuatiran diatas berasal dari bapak pendiri Amerika yang sekarang ini konsep politik demokrasinya banyak diadopsi oleh negara2 berkembang.

Saya pribadi belum pernah membaca buku complexity theory yang dimaksud (ini buku manajemen, filsafat, atau apa?), tetapi saya pernah membaca buku tentang chaos (buku teori matematika). Dalam matematika chaos walaupun terlihat banyak variabel kompleks yang tidak linear satu sama lainnya, dan juga tidak saling menderteminasi.

Tetapi seorang pakar matematika bisa menemukan attractor (penarik, kayaknya belum masuk kamus Inggris resmi yah) disana, dimana semua variabel bebas dan kompleks tersebut akan terlihat memiliki kecenderungan (atau bahkan bersinggungan) di attractor tersebut, seperti halnya cahaya yang bergerak bebas tetapi cenderung akan tertarik pada gravitasi. Biasanya attractor tersebut akan dirumuskan dalam persamaan matematika.

Apa kolerasinya?? Sekalipun manusia terlihat kompleks dalam cara2nya memenuhi kebutuhan ekonominya yang dimana cara tersebut akan berkembang menjadi sistem budaya dan peradaban yang berbeda satu sama lain, tetapi tetap saja kebutuhan manusia secara mendasar tetap sama.

Inilah attractor dari sistem peradaban yang kompleks tersebut. Agama (dalam hal ini Islam, yang saya anut dan pelajari) adalah bukti dimana, berbagai macam kebudayaan yang berbeda-beda dari bangsa yang berbeda-beda bisa menerima dan memeluk agama yang sama. Ada dua hal penting, alasan mengapa manusia beragama;

1. Sebagai yang terbatas manusia dengan akal dan batinnya membutuhkan yang tak terbatas. Sekalipun seorang atheis, selama masih memiliki jiwa manusia, maka di hadapan kondisi hidup dan mati dan tidak ada satupun mahluk fana yang bisa menolongnya, dia akan tetap berdoa/bermunajat/memohon (entah pada siapapun) akan kelangsungan hidupnya.
Dalam satu wawancara TV tahun 80an, Gorbachev pemimpin Soviet yang kebetulan juga seorang atheis pernah ditanya alasannya mengucap nama Tuhan, ketika helikopternya hampir saja terjatuh dalam sebuah insiden dan kebetulan terekam. Beliau menjawab bahwa itu refleks tanpa sadar karena saat itu akalnya tak mampu lagi menggunakan berpikir.

Agama memberikan manusia Tuhan yang tak terbatas.

2. Manusia membutuhkan kepastian, dan oleh karenanya manusia membutuhkan keteraturan. Seliar apapun peradaban suatu kaum atau suku, tetap saja akan kita jumpai nilai-nilai yang bertujuan memberikan keteraturan.

Agama memberikan manusia syariat.

Karena itu bisa kita simpulkan, sekompleks apapun suatu bangsa, jika kita mampu menyentuh nilai-nilai universal maka kita bisa membangkitkan kesatuan dari keberagaman.

RW: Lalu apa dong system politik yang cocok buat Indonesia?

Sebelum bicara yang cocok, maka mungkin saya berpendapat bahwa system ke-partai-an politik seharusnya dihapuskan. Mengapa demikian?

Siapapun yang pernah belajar pengantar ilmu politik tentu tahu bahwa salah satu tujuan politik adalah kekuasaan. Karena itu bisa kita simpulkan bahwasanya partai politik adalah sebuah korporasi yang bertujuan mendapatkan kekusaan.

Sebagaimana korporasi pada umumnya, maka partai poltik akan menerapkan manajemen berlandaskan pada multi disiplin ilmu (ekonomi, marketing, komunikasi, statistik, informatika, dsb) untuk mencapai tujuannya. Nah, penerapan ilmu-ilmu ini tentunya membutuhkan sumber daya, dan sumber daya tentunya tidaklah gratis. Selalu akan ada harga yang dibayar dari penyediaan sumber daya tersebut, baik itu dibayar secara tunai atau di anjak piutang kan.

Sebenarnya ini bukan pendapat pribadi saya semata, George Washington sejak awal juga tidak menyetujui sistem partai politik. Yang menarik, pendapat yang sama juga dikemukakan Thomas Jefferson (pendiri partai republik dan kemudian juga mendirikan demokrat), setelah melihat kemelut didalam kedua partai, dimana dia ikut bertasipasi mendirikan. Seorang tokoh politik eropa di akhir abad XIX (saya lupa namanya), juga pernah menuliskan bahayanya partai politik.

AP: Banyak banget mas Rama, wehehehehe. Semangat feodalisme atau dalam hal lain, kolusi dan nepotisme, dalam level tertentu bagi saya sah dan malah bisa wajib, mas. Misal saya mau ngerekrut akuntan atau orang keuangan dan ada 2 calon yang sama baiknya tapi salah satunya temen satu alumni dan lainnya ngga kenal. Mending saya pilih yang satu alumni.

Complexity theory itu cabang ilmu relatif baru, mas. Ngebahas sistem kompleks yang ada dalam berbagai kejadian di dunia, mulai dari sistem komputer, sistem transportasi, lingkungan hidup, hingga ikatan sosial masyarakat. Sekilas seperti System Dynamics, namun lebih sulit lagi karena algoritmanya ngga pernah sama dan selalu berubah, selalu tidak terduga. Contoh simpel, orang tua membesarkan dua anak dengan cara sama persis, hasilnya saat dewasa menjadi dua individu yang berbeda.

Mengenai agama, saya pernah baca buku Neuroscience, Why God Changes Your Brain yang isinya kira-kira sewarna dengan penjelasan mas Rama.

Dan mengenai agama, saya pernah terpikir penerapan syariat Islam karena saya mendukung penerapan syariat yang sifatnya universal. Saya juga tahu bahwa ada juga yang rajin mendukung penerapan syariat Islam di Indonesia. Mereka menganggap bahwa sudah saatnya ada kesempatan penerapan syariat Islam di Indonesia karena selama ini belum pernah diberi hak tersebut.

Sayangnya, mungkin mereka lupa, tidak memperhatikan atau menganggap bahwa bukan syariat / Qanun yang saat ini diterapkan di Aceh. Saya melihat dari berbagai parameter, penerapan Qanun di Aceh meski sudah lama pun penuh masalah, termasuk eksistensi dalam provinsi2 top urusan paling korup. Kelemahannya mungkin karena masing2 pihak punya versi sendiri mengenai penerapan syariat berdasarkan interpretasi golongan mereka.

Mengenai sistem politik yang cocok, kalo mas Rama dengan penghapusan parpol, kalo saya sistem federasi yang kurang lebih mirip dengan Rusia. Rusia saya lihat termasuk negara yang sudah sangat belajar dari pecahnya Uni Soviet dan menerapkan sistem yang saat ini berlaku untuk menjaga keutuhan bangsa.

Cuman, namanya juga opini yah 🙂

AP: Mengenai Complexity Theory yang saya maksud, beberapa pelopornya adalah Stuart Kauffman dan Murray Gell-Mann. Biasanya orang2 yang terlibat dalam teori ini dari matematika, fisika, biologi dan sains komputer.

RW: Untuk Indonesia, saya berpikir seperti ini;

1. Pertama pemilihan MPR tetapi bukan lewat pemilu, melainkan setiap daerah dan golongan mencalonkan para tokohnya untuk masuk ke dalam anggota Majelis. Mekanismenya sebagai berikut;

a. Ditetapkan jumlah anggota MPR (katakan saja mengikuti sekarang 1000 orang.
b. Ditetapkan jumlah kursi anggota dewan yang mewakili daerah dan yang mewakili agama dan golongan. Jadi tidak ada perwakilan partai.
c. Mentetapkan standar yang tinggi dan ketat bagi para anggota majelis.
d. Perwakilan daerah dipilih dari muspida (musyawarah pimpinan daerah) setiap daerah, dalam hal ini dimulai dari tingkat kampung atau RW memberikan suara bagi tokoh yang dianggap layak mewakili daerah tersebut. Para tokoh masyarakat yang menjadi calon anggota majelis tersebut tidak berlu berkampanye untuk meyakinkan para peserta muspida ini, melainkan track record kehidupan mereka baik secara personal maupun pribadi yang dibabar di muspida untuk menentukan layak atau tidak.
e. Selanjutnya untuk perwakilan agama atau golongan dipilih dari calon perwakilan agama atau golongan, yang kemudian ditetapkan oleh anggota Majelis perwakilan daerah yang sudah dipilih terlebih dahulu.

2. MPR kemudian memilih dan menunjuk untuk pertama kalinya adalah Mahkamah Agung (MA). MA inilah yang nantinya menjadi representasi kekuatan yudikatif MPR. Para anggota MA ini harus dipilih dengan standar tinggi tidak hanya secara keilmuan tetapi juga secara moral. Kehidupan pribadi para calon anggota MA ini harus ditelanjangi di mata majelis sebelum ditetapkan

3. MPR menetapkan para professional handal dan accountable dalam bidang audit untuk ditempatkan di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Lembaga ini nantinya harus menjadi lembaga yang datanya bisa diakses secara terbuka oleh siapapun terkait dengan hasil-hasil audit lembaga pemerintahan.

4. MPR menetapkan para tehnokrat handal untuk duduk di Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Lembaga ini akan menjadi lembaga think-thank perencanaan negara, sekaligus menelurkan Rancangan Undang-Undang (RUU). Jadi RUU tidak lagi diajukan oleh eksekutif, melainkan dibuat oleh DPA, dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ntuk dilaksanakan oleh Eksekutif dalam hal ini Presiden. Tentu saja dalam pembuatan RUU tersebut, team eksekutif akan memberikan masukannya kepada DPA sesuai dengan visi, misi, atau kata lainnya program yang dimiliki oleh eksekutif.

5. MPR menyaring ketat para kandidat presiden sebagaimana menyaring para kandidat untuk lembaga lainnya. Kemudian dari kandidat yang lolos seleksi tersebut, diadu lagi dalam pemilu lansung oleh rakyat, dimana para kandidat tersebut mengadu program2 unggulan mereka, dan yang terbaik akan dipilih oleh rakyat.

6. MPR kemudian menyaring dari dirinya sendiri orang-orang yang akan duduk di lembaga legislatif DPR dan nantinya akan mengawasi jalannya pemerintahan eksekutif. DPR akan menggunakan hasil dari BPK dan berkonsultasi dengan MA dalam pengawasan tersebut.

Nah, dalam system ini berarti hanya ada satu kali pemilu lansung yaitu saat pemilu Presiden, dan tidak ada satupun lembaga yang benar2 berkuasa atas lembaga lainnya kecuali MPR.

Fendy Pramana Masli (FPM): Nubie pengen nimbrung dikit. Tertarik ma pemaparan mas rama bahwa pada dasarnya sumber penyakit berdemokrasi di negara kita ada di faktor partai politiknya ya (sori kalo salah tangkep)? Apa sebaiknya diterapkan sistem 2 partai biar jelas porsi masing2 atau total dihapuskan saja?

Dan sebetulnya musyawarah mufakat tu memang memungkinkan buat diterapkan sesuai koridor pa sekedar retorika yg utopis buat kondisi manusia modern? Sekilas seperti ideal tp mustahil diterapkan.
Sistem federasi mungkin oke jg yak, jd keanekaragamannya tidak saling tumpang tindih.

RW: Apakah dulu Soekarno dipilih oleh rakyat untuk menjadi Presiden pertama?

FPM: Bukan. Proses pemilihan presiden pd kondisi politik di masa itu bisa diterapkan di masa sekarang jg?

RW: Harusnya bisa lah, asal aturannya ditegakan.

RW: Yang harus diluruskan adalah kata demokrasi dan dipilih oleh rakyat di jaman dahulu, itu tidak sama artinya dengan voting suara di masa sekarang.

Jaman saya kecil, kepala kampung dipilih secara musyawarah dengan memilih diantara masyarakat tokoh Yg dianggap adil dan berilmu, bukan melalui voting seperti sekarang ini.
Voting itu terjadi kalau ada deadlock antara dua kandidat Yg dianggap sama2 berkualitas.

FPM: Iya, yg skrg ini kan suara partai tanpa mewakili rakyat jg.
Buat wacana parpol dihapus dan diganti perwakilan daerah dan golongan, termasuk sudah umum diterapkan di negara lain pa masi prototipe? Penasaran aja ada ga yg nerapin sistem seperti itu

RW: Ga umum mas Fendy, tetapi saya melihat bahwa inilah sebenarnya semangat yg diiginkan bapak2 pendiri bangsa ini ketika menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Sayangnya harapan tersebut tidak pernah terwujud dengan baik;

tahun 1945-1950 Bapak Soepomo dan Bapak M. Yamin sudah merumuskan suatu sistem pemerintahan berdasarkan musyawarah rakyat yang diwakilkan dan pelaksanaannya dijalankan oleh Presiden, maka dibentuklah Badan Permusyawaratan (diambil dari kata musyawarah) Rakyat yang kemudian menjadi MPR sebagai lembaga tertinggi negara.

Lembaga inilah yang akan menetapkan lembaga tinggi lainnya (Presiden, DPR, MA, BPK, & DPA) dan menetapkan amandemen serta UU di negeri ini, termasuk GBHN (Garis Besar haluan Negara). Sebagaimana ditetapkan dalam sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tahun 1945.

Sayangnya karena kekacauan pada masa tersebut, KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang merupakan embrio dari MPR, tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, karena itu pada masa tersebut semua kekuasaan hanya berjalan di tangan Presiden.

Tahun 1950 – 1959 di masa Konstitusi Indonesia Serikat, lembaga MPR sama sekali tidak dikenal. Adapun pada tahun 1955 dimulailah Pemilu untuk pertama kalinya di Indonesia untuk memilih anggota Konstituante yaitu sebuah lembaga tinggi negara yang bertanggung-jawab merumuskan konstitusi negara.Tetapi sayangnya lembaga ini gagal. Akhirnya 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit sebagai berikut;

– MPRS terdiri atas Anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.
– Jumlah Anggota MPR ditetapkan oleh Presiden.
– Yang dimaksud dengan daerah dan golongan-golongan ialah Daerah Swatantra Tingkat I dan Golongan Karya.
– Anggota tambahan MPRS diangkat oleh Presiden dan mengangkat sumpah menurut agamanya di hadapan Presiden atau Ketua MPRS yang dikuasakan oleh Presiden.
– MPRS mempunyai seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yang diangkat oleh Presiden.

Dalam dekrit tersebut jelas bahwasanya sekalipun konstituante dibubarkan dan MPR didirikan kembali, tetapi tetap saja MPR masih berada dibawah kendali Presiden. Bagaimana mungkin sebuah lembaga tertinggi negara tetapi dalam pemilihan dan pengangkatan anggotanya diatur oleh Presiden. Disini dapat terlihat betapa kuatnya kekuasaan Presiden dan enggannya pihak eksekutif untuk melepas kekuatan tersebut.

tahun 1960-1999 Presiden Sukarno dijatuhkan pada tahun 1967 oleh anggota MPRS yang tadinya dianggap pro olehnya. Hal ini terjadi dikarenakan tekanan rakyat yang sangat kuat menyebabkan para anggota MPRS saat itu berkeputusan untuk mengikuti suara rakyat.

Uniknya sang pengganti Presiden Suharto tidak membatalkan dekrit tersebut malah dengan sangat cerdik memanfaatkan lembaga tertinggi negara tersebut untuk melegitimasi kekuasaannya diantaranya dengan menguasai golongan karya, memandulkan partai politik, dan mengatur anggota majelis yang berasal dari daerah atau golongan. Tetapi sebagaimana Presiden Sukarno, maka Presiden Suharto pun dijatuhkan (atau saat itu diminta mengundurkan diri) oleh MPR yang diatur olehnya sendiri. Sebabnya tak lain adalah karena desakan rakyat yang amat kuat untuk mengadakan reformasi.

tahun 1999-sekarang lagi-lagi MPR dibubarkan lewat perubahan amandemen UUD, dari sebelumnya Pasal 1 ayat (2) yang semula berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” , setelah perubahan Undang-Undang Dasar diubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Dengan demikian pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan sepenuhnya oleh sebuah lembaga tertinggi negara, yaitu MPR, tetapi melalui cara-cara dan oleh berbagai lembaga negara yang ditentukan oleh UUD 1945.

Dari sepintas sejarah tersebut, dapat dilihat bahwa MPR tidak pernah dapat berfungsi dengan baik, kalau tidak karena dibubarkan oleh eksekutif, bisa juga dikontrol dengan ketat oleh eksekutif saat pemilihan anggotanya. Harapan para pendiri bangsa, adanya sebuah lembaga tertinggi negara yang berada diatas eksekutif dan legislatif, dimana anggotanya adalah berasal dari tokoh-tokoh yang dianggap mewakili rakyat TIDAK PERNAH TERLAKSANA sampai dengan hari ini.

RW: Mohon maaf yah Andika, sudah corat-coret ngawur di wall-nya. Buat Yohan Lie dan Dwi Agung Wijaya, bisa diperhatikan pelajaran yang dipetik. Colek juga Adi Suryono dan Sangaji Sarkoro

Adi Nuryono: menyimak mas Rama…

Dwi Agung Wijaya: politik lagi nih…
hampir sama ruwetnya kaya filsafat

AP: Menarik sekali mas Rama. Membaca penuturan mas Rama menyadarkan saya kalau bahan bacaan saya, pendidikan politik saya sangat amat lemah. Modalnya kebanyakan dari masturbasi komentar yang berhamburan di medsos. Saya tidak heran kalau melihat keadaan sekarang, rata-rata politisi dan para politisi wannabe tidak mengenal Indonesia secara dalam dan luas.

Jadinya kalau merumuskan program partai, biasanya mengedepankan ego pribadi dan memiliki basis sejarah bangsa yang sangat lemah. Kalau melihat persoalan bangsa, yang digunakan adalah kacamata kuda. Mungkin saja ada yang banyak membaca, namun dari hasil melihat masturbasi komentar politik beberapa tahun terakhir, terlihat kalau hanya membaca sumber-sumber yang mendukung keyakinannya, bukan yang bertolak belakang. Maka disadari kalau wawasan kebangsaan, termasuk wawasan saya sendiri masih dangkal.

Untuk Fendy: Piye Fen? Uwis ketemu bahan complexity theory?

Kris Widy: Baca thread ini kaya ikut kuliah adm negara.. Jempol buat yang komen.. Makasih tambahan pengetahuannya

FPM: Makasih mas rama buat penjelasannya. Ironis jg sejarahnya. Jujur harapan2 pendiri bangsa jd terasa sangat utopis buat kondisi sekarang, terlalu berakar dalam vested interestnya. Bisa butuh berapa generasi buat kembali ke titik awal yak?

Andika ki jek sambil moco2. Ngko nek ono sing rak mudeng awakmu takrecoki yo pak

RW: Ga cuma politik sih, yang gawat ada banyak orang jadi Ustad bermodal belajar dari Kyai Google.

Kalau mau baca2 pola pikir para pendiri bangsa, coba dech cari buku2 di loakan.

RW: Ini ada beberapa buku yang lumayan bagus kalau kita ingin memahami masalah utopia mas fendy.

Buku mas Rama Wijaya

Buku mas Rama Wijaya

Ada beberapa buku lagi sih dan journal (saya baca di majalah terbitan LP3S), cuma saya lupa judul dan pengarangnya terkait masalah utopia. Sayangnya materi tsb agak sedikit tidak terawat di rmh orang tua saya.

FPM: Yg masyarakat madani tu pernah di rekomen tp lom sempet liat. Dulu pernah iseng hunting di loakan ketemunya buku gitu2 doang.
Makasih mas rama buat info n referensinya. Maap ni masi ijo, jd curi2 belajar tata negara dadakan.

Jakarta, 9 Februari 2015

 

Iklan

One thought on “Pantaskah Indonesia Berdemokrasi?

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s