Internet semakin menjadi salah satu sumber pendapatan signifikan bagi perusahaan label musik dan para artis, menggantikan penjualan fisik yang memasuki masa suram.
Ingatkah Anda toko musik legendaris, Aquarius yang terletak di jalan Mahakam, Jakarta Selatan? Tempat tersebut memberikan begitu banyak kenangan indah bagi para pelaku dan pecinta musik di Indonesia. Bisa dikatakan, Aquarius Mahakam adalah saksi sejarah musik Indonesia. Tempat tersebut berada di lokasi yang sangat strategis, sering menjadi tempat nongkrong kaum muda, dan menjadi rujukan utama kala kaset dan CD masih merajai pasar musik tanah air.
Namun, deraan pembajakan lagu, semakin turunnya penjualan fisik dalam bentuk kaset dan cakram, serta menanjaknya popularitas internet sebagai tempat mengunduh dan streaming lagu membuat Aquarius Mahakam harus tutup usia pada akhir tahun 2013.
Kolapsnya Penjualan Fisik Musik secara Global
Penutupan Aquarius Mahakam di Indonesia sebenarnya juga menjadi deskripsi kolapsnya penjualan fisik di seluruh dunia. Pada mayoritas negara di seluruh dunia, penjualan kaset dan cakram musik menunjukkan penurunan penjualan secara konsisten. Penurunan penjualan tersebut juga diprediksi akan semakin berakselerasi dari tahun ke tahun. Bisa dikatakan, kepemilikan kaset dan cakram musik sudah mulai dianggap sebagai semacam koleksi barang antik seperti pendahulunya yang sempat meraja, piringan hitam. Alias tetap laku, tetapi tidak lagi mendominasi.
Melihat masalah yang ada di depan mata, industri musik harus memiliki strategi migrasi para pembeli produk fisik musik untuk mencegah keruntuhan bisnis mereka. Solusi tersebut sebenarnya terlihat di sisi yang semula industri musik anggap sebagai musuh besar, yaitu internet.
Lahirnya Penjualan Musik Digital
Napster pernah dipandang sebagai musuh bebuyutan para pelaku yang berkecimpung di dunia musik karena memberikan jalan untuk melakukan pengunduhan musik dan lagu-lagu secara gratis. Internet yang menjadi wadah tempat Napster berada ikut kena getahnya menjadi momok menakutkan dalam hal pembajakan dan penghargaan hak cipta bagi pelaku industri musik.
Namun, ada beberapa individu yang melihat internet dari sisi berbeda, salah satu di antaranya mendiang Steve Jobs. Jobs melihat bahwa turunnya penjualan fisik musik sudah menjadi kepastian di masa depan, sedangkan internet masih ada pada fase awal dan sangat pantas untuk menjadi salah satu tempat penjualan musik dalam format digital.
Singkat cerita, lahirlah iTunes yang tercipta karena kepiawaian Steve Jobs melakukan negosiasi dengan para bos label-label musik di Amerika Serikat. Selain sebagai pelopor penjualan musik secara digital, iTunes juga menjadi pelopor penjualan musik dalam bentuk satuan lagu seharga USD 0.99, bukan album yang terdiri dari beberapa lagu sekaligus. Dalam pemikiran bos Apple Inc. tersebut, selalu ada lagu favorit dalam sebuah album yang ingin didengarkan berulang-ulang oleh pecintanya. Jadi, daripada bersusah payah menjual lagu-lagu dalam satu gelondongan album, kenapa tidak menjualnya secara satuan? Waktu membuktikan bahwa pemikiran tersebut benar adanya.
Penjualan musik secara digital juga semakin menanjak karena perubahan perilaku konsumen musik (baca: Membangun bisnis berbasis konsumen). Semakin tingginya penjualan telepon pintar dan tablet serta perbaikan terus menerus terhadap kecepatan internet telah mendorong masyarakat membayar konten yang mereka inginkan dan dapat disatukan dengan perangkat digital agar dapat dibawa ke mana pun mereka mau.
Kini, penjualan musik secara digital sudah mampu membantu keuangan banyak artis dan label-label musik. Hingga akhir tahun 2013, iTunes dan Amazon menjadi pemain utama toko musik digital. Selain hal tersebut, pembelian album musik secara utuh juga ternyata tidak mampu menandingi penjualan lagu tunggal (Nielsen SoundScan, Billboard, 2014)
Dari Gelondongan ke Satuan
Data Nielsen SoundScan dan Billboard tersebut juga menunjukkan apa sebenarnya keinginan konsumen musik. Daripada membeli satu album yang belum tentu mereka suka semua lagunya, mereka memilih membeli secara satuan dengan harga yang lebih bersahabat bagi kantong mereka. Berarti di sini, penggunaan secara mobile dan harga menjadi dua faktor yang berpengaruh signifikan terhadap penjualan lagu tunggal.
Dari sudut pandang seniman, pencipta lagu, serta pemilik label musik, bisa jadi perilaku konsumen era digital menjengkelkan mereka. Karena ada kalanya album yang terdiri dari beberapa lagu sebenarnya menunjukkan kesinambungan kisah yang ingin disampaikan. Sebuah lagu memiliki kedekatan emosi dengan lagu lainnya dalam album tersebut.
Sayangnya, jika keinginan untuk memasarkan lagu-lagu dalam satu album tetap dipaksakan, konsekuensi finansial jika album gagal di pasaran menjadi terlalu besar. Tidak sedikit penyanyi dan seniman musik Indonesia yang merasakan kerugian karena memaksakan penjualan lagu-lagu secara utuh dalam satu album.
Di sisi lain, hal ini sebenarnya dapat memicu kreativitas (Baca: Generasi Baru Inovator Dunia Bisnis). Para penyanyi, seniman, dan pemilik label musik dipaksa untuk menciptakan lagu-lagu yang memberikan efek pembelian impulsif. Maksud impulsif di sini contohnya membuat lagu yang meski dijual secara satuan, namun di dalam lirik, promosi, atau video klip menjelaskan bahwa akan ada lagu lanjutan. Jika lagu tersebut benar-benar berhasil memikat hati pendengarnya, besar kemungkinan penjualan lagu berikutnya turut memberikan pendapatan yang signfikan.
Selain memicu kreativitas, penjualan lagu secara tunggal juga meminimalisir risiko, khususnya bagi para pemain awal dan memiliki modal terbatas. Biaya produksi hingga pemasaran sebuah lagu jelas lebih rendah daripada biaya produksi dan pemasaran 10 buah lagu. Jika lagu yang menjadi alat untuk tes pasar tersebut sukses, tentunya akan ada modal tambahan untuk kembali membuat lagu berikutnya.
Nah, siapkah Anda memasuki dunia penjualan musik digital beserta semua dinamikanya?
(Andika Priyandana – dari berbagai sumber)
Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Majalah Marketing edisi September 2014.