Telisik Solusi Kreatif Strategi Distribusi di Era Digital

Perusahaan-perusahaan yang mampu bertahan hidup di era baru adalah perusahaan-perusahaan yang mampu mencari solusi kreatif untuk meningkatkan kapabilitas logistik dan distribusi.

Indonesia; pic source: worldbankdotorg

Indonesia; pic source: worldbankdotorg

Alkisah, pada suatu waktu di sebuah negara yang konon gemah ripah loh jinawi, hidup seorang pebisnis bernama Banyu yang dipusingkan oleh masalah distribusi produk buatannya hingga ke tangan konsumen. Banyu sedang berpikir keras mencari solusi dari masalah tersebut. Masalah-masalah yang mempengaruhi faktor distribusi hingga ke tangan konsumen sangat mempengaruhi biaya produksi hingga 20 persen. Bahkan, Bahan Bakar Minyak (BBM) yang semula dikira berpengaruh signifikan terhadap harga di tingkat ritel ternyata memiliki dampak yang kecil.

Bagaimana cara mencari solusi dari masalah ini? Padahal, harga jual barang di rantai paling akhir terbentuk dari komponen biaya di tiga segmen, antara lain produsen, ritel dan distribusi. Sementara distribusi memiliki masalah-masalah seperti rantai distribusi yang panjang, distributor yang susah diatur untuk urusan harga, hingga masalah-masalah lain yang juga krusial seperti jalan rusak, ketidakpastian ketersediaan energi, plus persoalan klasik seperti kemacetan. Akibatnya, harga pasar pun menjadi bergejolak karena adanya masalah-masalah tersebut.

Apakah Anda merasa familiar dengan ilustrasi kisah di atas?

Strategi Distribusi Perdangan Konvensional dan E-commerce

Setiap bisnis, sekali lagi setiap bisnis yang berurusan dengan memindahkan produk dari satu tempat ke tempat lainnya harus berhadapan dengan tantangan-tantangan dalam bentuk logistik dan distribusi. Tidak peduli apakah perusahaan tersebut bergerak di bidang perdagangan konvensional atau e-commerce. Jadi, jika ada premis yang menyatakan bahwa ada friksi strategi distribusi antara kedua bidang perdagangan tersebut, mungkin tujuannya lebih kepada pencarian sensasi judul cerita.

Sehubungan dengan urusan distribusi dan logistik, pada umumnya usaha kecil dan menengah (UKM) adalah segmen bisnis yang paling rentan terhadap masalah-masalah logistik dan distribusi, yang pada akhirnya dapat menggiring kepada mengeringnya sumber daya yang dimiliki dan kumpulan konsumen yang jengkel.

Menurut Volodymr Babich (Professor of Operations di Georgetown University’s McDonough School of Business), adanya gangguan-gangguan dalam jaringan distribusi menggiring pada kenaikan drastis pos biaya dan menurunnya nilai saham perusahaan, dengan contoh perusahaan-perusahaan yang jatuh bangkrut sebagai konsekuensinya.

Jika kita memerhatikan kanal distribusi konvensional. Kanal tersebut terdiri dari satu atau lebih produsen, pedagang besar dan pedagang ritel yang masing-masing entitas berdiri secara terpisah dan berusaha untuk memaksimalkan keuntungan masing-masing pihak (Kotler dan Armstrong, 2001). Dalam model ini, para distributor beroperasi secara independen atau mengikat perjanjian tertentu dengan pemasok atau distributor lainnya. Karena praktik ini, jaringan distribusi konvensional menjadi lebih terfragmentasi karena pihak pabrikan, pedagang besar dan ritel menawar harga yang diberikan masing-masing pihak secara agresif.

Karena masing-masing anggota model distribusi konvensional bekerja secara independen dan terpisah, tidak ada satu pun di antara mereka yang memiliki kontrol penuh terhadap anggota lainnya. Sebagai contoh, bagi para produsen yang bermain di model distribusi konvensional tentu sangat mengetahui bahwa mereka tidak bisa mengontrol distributor produknya mengenai di mana mereka harus menjual, harga yang ditetapkan ke konsumen, dll.

Di sini, tidak ada otoritas formal yang memberikan legitimasi untuk mengontrol masing-masing pihak. Adanya isu tambahan dalam bentuk maksimisasi profit masing-masing anggota model distribusi konvensional demi pemenuhan tujuan perusahaan juga menyebabkan kemunduran sistem ini karena rendahnya perhatian terhadap performa sistem distribusi secara holistik.

Lantas, bagaimana cara mencari solusinya?

Patut menjadi catatan bahwa perusahaan yang paling berdaya adalah perusahaan yang mampu mencari solusi kreatif dari masalah-masalah yang dihadapinya, termasuk masalah distribusi dan logistik (Baca: Generasi Baru Inovator Dunia Bisnis). Solusinya? Ada berbagai macam mulai dari memotong biaya, simplifikasi proses bagi para vendor atau improvisasi pengalaman pelanggan.

Saat ini, perusahaan-perusahaan yang telah menerapkan solusi-solusi kreatif tersebut dan terekspos dengan baik adalah perusahaan yang bergerak di bidang e-commerce. Sebenarnya, bentuk perbaikan terhadap sistem distribusi konvensional dapat dilacak hingga awal tahun 1980an. Menurut Evangelista. et al (1984), solusi masalah yang dihadapi model distribusi konvensional adalah dengan penerapan sistem bauran pemasaran baik secara vertikal maupun horisontal. Namun, untuk pembahasan strategi distribusi e-commerce, bentuk sistem pemasaran vertikal adalah yang paling mendekati dan paling banyak digunakan.

Model distribusi dengan sistem pemasaran vertikal adalah bentuk jaringan yang terdiri dari dua atau lebih anggota dalam model distribusi, misalnya produsen dan pedagang besar, pedagang besar dan pedagang ritel, atau produsen dengan beberapa pedagang besar dan pedagang ritel (Evangelista et al, 1984). Jadi, semua anggota dalam model distribusi ini bertindak sebagai satu sistem yang utuh.

Contoh dari model ini dapat diambil  dari perusahaan e-commerce yang menerbitkan dan menjual buku. Perusahaan ini mengikat kerja sama dengan sekumpulan pengarang buku (baca: pemasok) yang memberikan pasokan tulisan secara rutin. Perusahaan ini juga memiliki situs yang mempromosikan buku-buku terbitannya serta perusahaan pemasaran yang mengiklankan dan memasarkan produk.

Tidak berhenti sampai di situ, perusahaan ini  menangani distribusi dan pengiriman produk-produk final. Jelas bahwa si perusahaan e-commerce memahami semua tahapan mulai proses produksi buku hingga distribusinya ke tangan konsumen harus ada dalam kontrolnya (Baca: Chumbak). Jika ada masalah muncul di salah satu bagian, perusahaan tersebut dapat mengatasinya sesegera mungkin. Ini adalah model yang jauh lebih baik daripada model konvensional yang harus berurusan secara rutin dengan agen-agen distributor, pengiriman produk, dan masih banyak lagi.

Contoh lain yang berhubungan dengan distribusi dan pengiriman dari perusahaan e-commerce adalah sebagai berikut. Berdasarkan data penjualan, lebih dari 90 persen penjualan dihasilkan hanya dari satu kota saja (sebut kota X). Maka demi meningkatkan efisiensi biaya distribusi dan pengiriman sekaligus meningkatkan pengalaman positif pelanggan, perusahaan e-commerce ini memutuskan:

(1) memiliki armada distribusi sendiri di kota X,

(2) menjanjikan gratis biaya pengiriman di kota X kepada para konsumen dan,

(3) menjanjikan waktu pengiriman maksimal 24 jam sampai ke tangan konsumen.

Perusahaan e-commerce ini membuat keputusan-keputusan strategis berbasis data demi keberlangsungan perusahaan dalam jangka panjang.

Hidup jauh lebih nikmat saat Anda mau dan mampu mencari solusi kreatif dari permasalahan-permasalahan yang ada (baca: Keller dalam Points of Parity dan Points of Difference). Kerja cerdas, bukan kerja keras. Iya kan?

 

Jakarta, 19.7.2014

Andika Priyandana

Catatan: Artikel versi tersunting telah dimuat di Majalah Majalah Marketing edisi Agustus 2014

 

 

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s